A Gecko for Luck. Begitu judul buku tulisan Horst H. Geerken ini, dengan subjudul 18 Years in Indonesia. Dua hal yang bisa ditarik dari buku ini adalah mistis dan sogokan sudah menjadi hal yang lumrah begitu Indonesia berdiri.
Tokek menjadi judul dan gambar sampul sebagai simbol mistisisme. Hal yang lumrah bahwa suara tokek dihitung untuk mengambil sebuah keputusan. Geerken berkenalan dengan hal itu saat ia berjalan-jalan dengan Presiden Soekarno di Istana Tampaksiring. Ketika sedang berjalan mengeliling Istana, seekor tokek berbunyi. Langsung Presiden menghitung mengikuti urutan bunyi tokek. "Satu, dua, tiga ..." dan seterusnya hingga kesembilan. "Wah, untung. Angka sembilan, ganjil, artinya untung. Besok dan seterusnya adalah hari baik bagi saya dan Indonesia."
Semenjak itu, Geerken yang tinggal di Indonesia selama 18 tahun mulai membiasakan diri dengan dunia mistis. Bahkan ia pun melakoninya; dan ternyata memang menjadi solusi.
"Saat kami pindah rumah lagi, kali itu ke Jalan Gandaria, saya berurusan dengan masalah mistis lagi. Bulan-bulan pertama, ada saja masalah. Tukang masak kami pingsan tiba-tiba, tukang cuci merasa ditampar kepalanya dari belakang padahal saat itu ia sendirian, dan ayam yang sedang direbus hilang tanpa jejak. Tukang kebun luka di tangan dan lama tak sembuh-sembuh, dan tembikar bergantian pecah. Malam hari para pembantu sulit tidur, katanya ada suara-suara menyeramkan. Mereka pernah berupaya memberi sesajen, antara lain cerutu, bunga, dan dupa. Katanya rumah kami berhantu.
"Atas saran Pak Wibowo, orang Jawa tetangga saya, kami menyelenggarakan selamatan. Kami harus membeli seekor kambing, dipotong, dan kyai setempat memimpin upacara. Darah harus ditampung di sebuah bejana, kemudian dimasukkan ke lubang galian di tanah dekat pintu masuk rumah. Mesdi, tukang kebun kami yang berumur 19 tahun, mengambil sebagian darah kambing dan memercik-mercikkan ke halaman tetangga. Sambil tertawa dia bilang, biar hantu pindah ke rumah tetangga.
Sejak itu rumah tangga kami berjalan normal tanpa gangguan seperti sebelumnya. Saya percaya bahwa kekuatan lain di luar manusia bisa dijinakkan."
Horst H. Geerken bukan seorang ilmuwan, seniman, atau rohaniwan yang jatuh cinta kepada Indonesia. Dia insinyur di perusahaan Jerman AEG-Telefunken yang dari tahun 1963 - 1981 bekerja di Indonesia. Sempat mengalami dua masa, Orde Lama dan Orde Baru, yang presidennya percaya dengan mistis. Ia juga menjadi saksi yang jujur saat perpindahan dari Bung Karno ke Pak Harto.
Jakarta saat Geerken datang baru berpenduduk empat juta jiwa. Lalu lintas tentu masih lengang sebab baru ada satu lampu lalu lintas, yakni di perempatan Harmoni, di depan bangunan monumental warna putih yang berdiri sejak tahun 1810 dan dulu digunakan sebagai tempat pesta dan kumpul-kumpul pejabat Belanda. Di Lapangan Medan Merdeka sedang dibangun tugu Monumen Nasional. Tak jauh dari situ terdapat Gereja Katedral, dan di depannya Mesjid Istiqlal yang baru dua tahun diresmikan Presiden Sukarno.
Imigrasi Indonesia, dan instansi pemerintah pada umumnya, menempuh cara kerja warisan Belanda namun menjadi tidak efisien dan penuh liku karena para pekerjanya amat menikmati kedudukan sebagai pengganti orang Belanda di masa lalu. Antrean panjang, proses administrasi lama dan bertele-tele. Seorang pengusaha Cina memberitahu, "Kalau kamu tidak menyisipkan beberapa ribu rupiah, paspormu akan dipindah ke tumpukan terbawah."
Hal buruk lain yang dicatat Geerken adalah soal jam karet. Ia yang sejak kecil dididik orangtuanya untuk tepat waktu sempat "makan hati" begitu tinggal di Jakarta. Kecewa dan tak jarang ia frustasi dengan jam karet ini. "Maka, daripada setiap kali mengumpat lebih baik menyesuaikan diri. Saya tetap taat pada jadwal, tapi harus siap mental kalau orang lain terlambat datang."
Ketidaktepatan soal waktu juga berimbas pada ketidaktegasan terhadap suatu masalah. Menurutnya, orang Indonesia jarang bicara tegas "Ya" atau "Tidak". Kata "Mungkin" atau "Barangkali" lebih sering dipakai sebagai kata pengganti. Juga kata "Belum" alih-alih "Tidak". "Ketika saya belum punya anak dan seseorang bertanya, saya segera menjawab, 'Belum.'"
Kesederhana Bung Karno tak luput dari mata jeli Geerken. Ketika menghadiri perjamuan makan siang di Istana Tampaksiring, ia melihat Bung Karno melahap "makanan kampung", yakni gulai daun singkong dan tahu tempe. "Ini makanan paling enak, paling sehat, dan paling murah," kata Bung Karno. Padahal, saat itu tersedia makan siang gaya Belanda, rijstaffel. Selain nasi dengan lauk-pauk komplet, tersedia juga sate ayam dan soto ayam.
Geerken sempat bercakap-cakap dengan Bung Karno sambil berkeliling Istana. Dengan bahasa Jerman, Bung Karno bercerita soal banyak. Ia menjelaskan bahwa dia tidak perlu kemewahan. Bagi dia batas kecukupan adalah bisa makan dan minum (dan tentu saja juga berlaku buat beberapa istri dan perempuan di sekitar dia). Kalangan pengusaha asing juga tahu bahwa dia tidak pernah membelokkan dana setiap proyek bagi diri dan keluarganya. Bagi dia, semua untuk kemakmuran rakyat. "Benar, sepanjang pengalaman saya bekerja di Indonesia, saya yakin Presiden Sukarno bukanlah manusia yang korup."
Tahun 1981 tugas Geerken di Indonesia berakhir. "Bukan saya menghendaki, tapi AEG-Telefunken kolaps menjelang bangkrut. Saya masih tetap cinta Indonesia, dan setiap saat menyempatkan diri berkunjung. Sampai tahun 2000-an Indonesia telah banyak berubah, tapi saya tetap bisa merasakan hawa Indonesia sampai ke seluruh aliran darah di tubuh saya."
Intisari-Online.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Indonesia di Mata Orang Jerman"
Post a Comment