Kisah Unik Para Presiden AS

Tahukah Anda bahwa Reagan pernah tersedak kacang, Nixon dipancing wanita topless, dan Carter diserbu kelinci? Siapa lagi yang bisa mengungkapkan kejadian-kejadian seperti itu, kalau bukan pengawal pribadinya. Mungkin Anda tercengang kalau tahu apa yang akan dilakukan agen rahasia, bila Anda terlalu lama berjabatan tangan dengan presiden. Semuanya itu diungkapkan dalam Confession of an Ex-Secret Service Agent oleh George Rush.

Marty Venker geram sekali, ketika Senator Robert Kennedy dan Martin Luther King Jr. dibunuh. Saat itu ia mahasiswa yang aktif turun ke jalan dan juga pemain gitar dalam band Soul Seaker. Ia merasa orang-orang yang berani berkata "tidak" macam Robert Kennedy sepatutnya dilindungi lebih baik.

Jadi, ketika ia membaca di Dinas Rahasia ada lowongan, ia melamar. Padahal ia sudah di tingkat terakhir dan memilih kuliah utama marketing. Ia juga sudah 1,5 tahun bekerja di Departemen Keuangan Biro Alkohol, Tembakau, dan Senjata Api.

Belajar menggiring presiden

Saat mendaftar itu umur Marty 22 tahun, tingginya 180 cm, dan beratnya 90 kg. Kondisinya sedang bagus-bagusnya. Apalagi wajahnya lumayan sedap dipandang di televisi. Marty lulus, padahal jumlah pelamar jauh melebihi yang dibutuhkan.

"Musim gugur 1971 saya terbang ke Washington, DC. Saya menginap di sebuah hotel di dekat Gedung Putih untuk mengikuti kursus teori selama enam minggu. Di siang hari saya mendengarkan ceramah tentang hukum, pemadaman kebakaran, perang atom, perang biologis, dan perang kimia. Kami juga belajar mempraktikkan 'pengobatan sepuluh menit', yaitu cara mengusahakan agar seseorang yang celaka bisa hidup sepuluh menit lagi.

"Kami juga mempelajari aturan-aturan protokoler diplomatik: bagaimana bisa tetap tenang di tengah orang-orang berkuasa yang biasanya amat peka dan bagaimana menenangkan mereka. Kami mempelajari tingkah laku dan sifat-sifat massa, jalan pemikiran gerombolan perusuh, bagaimana memperhitungkan titik ledak massa, kapan suatu kerusuhan masih dapat ditenangkan dan kapan kami harus segera menyingkir. Instruktur kami mengutamakan pemecahan masalah secara rasional. Jika di tengah kerumunan ada orang yang mencurigakan, kami harus bertindak sedemikian rupa sehingga tidak menarik perhatian. Penahanan atau penyerbuan itu bukan tugas kami, tetapi bagian kepolisian."

"Kami diajak berkunjung ke rumah sakit jiwa dan dokter di sana memberikan petunjuk cara membedakan antara orang yang gila saja dan orang gila yang juga bengis dan bakal menimbulkan kerusuhan. Pelajaran pada malam hari berat. Kami dibawa ke Beltsville, Maryland, ke pusat latihan Dinas Rahasia yang sekilas seperti gedung SMP saja. Gedung-gedungnya terbuat dari batu bata, hanya satu tingkat dan dikelilingi tanah seluas 24 ha.

"Kami memerankan adegan menggiring presiden di tengah-tengah kerumunan massa. Sekilas seperti sedang bermain basket. Salah seorang dari kami pura-pura menjadi presiden, empat yang lainnya mengelilinginya dalam bentuk berlian. Kami pura-pura menggiringnya dari lobi hotel ke mobil, kemudian terjadi serangan."

Jangan membungkuk

Senjata utama kami pistol Smith and Wesson Model 19 berkaliber .357, yang biasanya saya taruh di pinggang kiri. Saya pandai menembak, tetapi justru paling tidak suka membawa senjata api. Sejauh yang saya ketahui, Dinas Rahasia memang tidak suka kepada orang-orang yang senang main tembak. Tugas utama kami adalah justru menghindari tembak-menembak."

"Kami sering disuruh menonton film peristiwa pembunuhan yang benar-benar terjadi. Yang paling menarik adalah film yang di-shoot oleh Abraham Zapruder pada tanggal 22 November 1963 di Dallas. Dalam film itu terlihat hal-hal mengerikan yang umumnya tidak diketahui orang. Misalnya bagaimana sebagian otak Presiden Kennedy berceceran di tubuh Jackie. Berulang-ulang saya menonton film itu. Instruktur kami tidak ingin kami melupakan film itu."

"Kalau polisi diajarkan untuk membungkuk di saat terjadi tembak-menembak, instruktur kami malah mengatakan, kalau kami membungkuk peluru dapat langsung menembus kepala. Jadi, kami harus berdiri tegak dan sengaja membuat diri kami menjadi sasaran yang besar, lalu berusaha sedapat-dapatnya mengalihkan perhatian si penembak."

"Saat itu saya ingin mempunyai tujuan di dalam hidup saya dan bukan hanya sekadar mencari nafkah dan membeli mobil baru. Kalau orang sampai berhasil membunuh seorang presiden atau calon presiden, peristiwa itu mengubah jalannya sejarah dan mempengaruhi kehidupan orang banyak. Maka dari itu saya ingin ikut mengamankan jalannya proses pemilihan presiden.

"Saya disuruh pergi ke dokter yang membuatkan cetakan lubang telinga saya dari plastik hangat. Beberapa hari jadilah earphone saya yang pertama. Kawatnya dihubungkan ke pesawat penerima sekaligus pemancar radio di pinggang dan disambung pula ke sebuah mikrofon di pergelangan tangan saya. Frekuensi saya disamakan dengan frekuensi agen-agen lain. Namun, akhirnya kami hampir-hampir tidak membutuhkan earphone. Kebetulan saya tidak pernah suka mengenakannya, karena telinga saya jadi berdarah."

Dor!

“Baru dua bulan bertugas lapangan, saya dikirim untuk mengawal jalur kampanye di Springfield, Illinois. Saya naik 'kereta perang' yang ikut dalam konvoi. 'Kereta perang' itu berupa mobil yang di langit-langitnya tertempel amunisi dan di jendela belakangnya seorang agen siap dengan senapan Uzi.

"Suatu pagi kami bisa gemetaran kedinginan di Madison, Wisconsin. Salju bertebaran di jalan. Empat kota kemudian, kami sudah tiba di Beaumont, Texas yang gerah, sehingga rasanya kami seperti terpanggang di dalam setelan wol kami. Pada saat itu, bisa saja limusin si calon presiden tiba-tiba direm dan pemimpin kami akan bilang lewat radio, 'Sampai, sampai.' Si calon presiden melompat turun, saya berbalik untuk menahan para juru potret dan 'jepret-jepret-jepret!': lima belas lampu blitz menyala beruntun di depan wajah saya! Di rongga mata saya segera tampak seribu bintang, karena saya tidak mengenakan kacamata hitam. Saya memang tidak suka mengenakannya, berhubung saya ingin orang dapat melihat mata saya.

"Kemudian pemimpin kami bilang lewat radio, 'Mari kita bawa dia ke dalam.' Namun, si calon biasanya mampir-mampir di sepanjang tambang pembatas, sambil cengar-cengir, mengedipkan matanya atau mencicipi hot dog yang ditawarkan seseorang. Saya menyusulnya dan mendahuluinya berjalan. Mata saya memperhatikan tangan orang-orang. Jas saya biarkan terbuka, supaya bisa cepat menarik pistol. Telinga saya siap mendengar seruan, 'Senjata di kiri!' atau 'Senjata di kanan!' Seorang agen di samping saya sudah siap dengan Uzi di dalam tas kantor. Sekilas mata saya menyapu jendela-jendela hotel. Siapa tahu ada seseorang yang sedang mengintip lewat teleskop senapan berburunya. Di saat itulah biasanya ada remaja kurang ajar yang menusuk balon dengan pisau lipat dan "DOR!"

"Jantung kami serasa melompat ke luar."

Lihat tangannya

Kami belajar mencari wajah-wajah yang aneh, yang ekspresinya berbeda-beda dari yang lain. Orang yang gugup dan berkeringat, padahal semua orang di sekitarnya sedang bergembira. Atau orang yang cengar-cengir, di saat orang-orang lain serius dan khidmat. Biasanya kita bisa mengenali orang yang sedang mengalami gangguan mental.

"Kalau menemukan yang seperti itu, saya langsung mendekati dia dan mengajaknya berbicara dengan amat santai. 'Gimanakabarnya?' Atau saya menyenggolnya, lalu bilang, 'Oh, maaf.' Dengan cara itu saya mengejutkan dia. Kemudian saya akan berdiri di dekat calon dan memperhatikan mata orang-orang yang lewat menyalaminya. Saya juga melihat apakah tangan mereka ada di saku atau di tasnya masing-masing. Jika kami melihat seorang pria mendadak melakukan gerakan tertentu, kami cengkeram dia di sikunya dan kami giring ke ruang lain. Kami tanyai dia. Mungkin ternyata ia hanya ingin mengeluarkan kamera.

"Selama bertugas, saya tidak pernah mendengar seorang pun, termasuk saya, mengeluh takut. Saya kira kami memang bukan orang yang mau saling mengaku jika sedang takut. Pekerjaan ini menuntut kami untuk saling bersaing dan biasanya agen yang naik pangkat adalah yang bermental baja dan tidak banyak mulut.

"Tentu saja, kadang kala saya merasa seperti sasaran yang sedang diincar, tetapi saya berpikir, 'Ah, tidak akan terjadi pada saya.' Saya juga bertanya-tanya di dalam diri (agen lain pun pasti pernah berpikir begini), seandainya saya sampai tertembak, apakah saya akan selamat? Jika ada orang gila mengeluarkan pistolnya dan kita ketakutan, kita justru bakal celaka. Padahal hanya ada satu kesempatan untuk menyergap orang itu sebelum pistolnya meletus. Nanti, jika kita masih hidup, barulah kita boleh ketakutan."

Corat-coret JFK

Sebagian besar kampanye tahun 1972 saya lewatkan bersama McGovern. Saya kira ia orang baik. Pernah ada orang dan wartawan mengatai agen-agen yang mengawalnya sebagai segerombolan bandit. McGovern segera mengadakan konferensi pers untuk membela kami. Ia malah mengucapkan terima kasih kepada kami karena risiko yang telah kami tempuh demi melindunginya.

"Jika calon wakil presiden dari Partai Demokrat Sargent Shriver pulang (suami Eunice Kennedy, adik JFK), saya berjaga di rumahnya di Maryland. Berjaga di lorong rumah yang kosong benar-benar tugas paling berat bagi kami. Seharian saya bisa menghabiskan dua bungkus rokok."

"Rose (Ny. Joseph Kennedy, mertua Shriver), Teddy (Edward Kennedy), Ethel (istri Robert Kennedy), dan anak-anak mereka sering berkumpul di rumah Shriver. Keluarga Kennedy memperlakukan Dinas Rahasia seperti anggota keluarga sendiri. Bahkan jika sedang tidak bertugas pun, saya bermain juga dengan mereka. Maria Shriver waktu itu masih remaja. Rambutnya hitam dan lebat. Saya biasa memanggilnya "Putri Indian". Malam hari saya berjalan-jalan di dalam rumah dan melihat-lihat hasil corat- coret JFK di atas kertas Oval Office (Kantor Kepresidenan). Coret-moret itu dibingkai dan digantung di dinding.

"Setelah pemilihan selesai, Marty pulang ke kantor di Springfield, mengambil gelar master di bidang hukum dan pada tahun 1974 dipromosikan ke New York untuk membantu pengawalan Presiden Ford dan pejabat-pejabat luar negeri yang berkunjung ke kota itu."

Ada ikan besar!

Suatu kali Marty ditugaskan di Hotel Waldorf untuk mengawal Anastasio Somoza, presiden Nikaragua. "Di suite-nya pada malam hari, Somoza mencium istrinya, mengucapkan selamat malam sambil bilang, 'Saya akan turun untuk minum brendi.' Si istri dengan penuh pengertian akan bilang, 'Banyak senang, Sayang.' la tahu benar apa yang akan dilakukan suaminya."

"Maka kami turun ke lobi dan masuklah kami ke salah sebuah bar di Waldorf. Di sana banyak pelacur kelas tinggi yang benar-benar mahal. Ketika mereka melihat orang berpakaian rapi itu masuk dengan didampingi dua orang pria yang mengenakan lencana, mata mereka seperti mengatakan. 'Ooh, ada ikan besar baru saja masuk!' Somoza duduk di bar dan semua wanita itu mencari-cari alasan untuk bisa berbicara dengan dia. Kami duduk di meja di belakangnya sambil minum club soda, sementara Somoza bermabuk-mabukan dengan para pelacur itu. Akhirnya, ia memilih salah seorang dan pembantu pribadinya memesankan sebuah kamar untuk mereka. Kami mengantar mereka, lalu menunggu di luar. Pernah saya bilang kepada Somoza, 'Tolong pintunya jangan ditutup rapat.' Maka terdengarlah oleh kami bagaimana Somoza memperlakukan wanita itu dengan kasar. Soalnya, jangan sampai saya harus melapor kepada atasan saya, bahwa orang yang seharusnya saya lindungi ditikam seorang pelacur."

"Somoza sering mabuk berat. Suatu malam kami mengantarkan dia pulang ke Waldorf. la merangkak menyeberangi lobi sambil tertawa-tawa. Malam yang lain kami berpindah-pindah dari disko yang satu ke yang lain dan semua orang ekstra baik kepadanya, sampai tibalah kami di satu disko. Somoza sambil terhuyung-huyung minta diperbolehkan masuk. Tetapi penjaga pintunya ragu-ragu."

"Kata Somoza, 'Kamu tahu siapa saya?' Kami semua terkesiap. Saya mendekati penjaga itu seolah-olah akan memberi tahu siapa orang berantakan ini sebenarnya. Tetapi yang saya bisikkan adalah, 'la seorang bajingan, jangan kasih masuk.' Maka penjaga tidak memberi izin masuk."

"Somoza terheran-heran. Katanya, 'Kamu tidak dapat memasukkan saya?' Kami bukan pengawal pribadinya yang mungkin segera akan melingkarkan tambang di depan pintu itu ke leher si penjaga pintu. Saya hanya mengangkat bahu. 'Maaf.' Sementara kami berjalan balik ke limo, saya kedipkan mata kepada penjaga pintu."

Senggol saja

New York adalah salah satu dari sedikit kota yang agen-agen lapangannya mendapat izin dari Washington untuk mengatur sendiri pekerjaan-pekerjaan yang sulit. Gerald Ford senang bepergian dan bertemu orang, sehingga saya sering berhubungan lewat telepon dengan W-16, kantor Dinas Rahasia di Gedung Putih.

Marty mulai melihat betapa besarnya daya sihir presiden terhadap orang lain. "Bahkan senator-senator pun, jika mereka dapat duduk lebih dekat dengan presiden, atau dipotret bersama dia, sudah merasa diri lebih penting. Anda tak akan percaya betapa uring-uringannya seorang senator jika kami menahannya di pintu, sementara ia melihat presiden sedang berfoto bersama orang-orang lain."

"Jika presiden akan berjabatan tangan dengan umum, kami ingatkan agar tidak usah berjabatan tangan, melainkan cukup menyentuh tangan saja untuk kemudian berjalan lagi. Tetapi sering kali itu tidak dilakukannya, atau mungkin ia kurang cepat. Maka orang-orang akan menggenggam tangan presiden dengan kedua tangan selama mungkin. Mereka ingin menikmati perasaan bersentuhan dengan presiden."

"Menurut yang diajarkan kepada kami, jika ada pria yang seperti itu, kami harus menyenggol perlahan alat vitalnya sehingga konsentrasinya terpecah. Karena semua kamera dan mata tertuju kepada presiden, tindakan kami itu tidak akan ada yang melihat. Bahkan pria itu sendiri pun tidak akan sadar mengapa ia melepaskan genggamannya. Ia begitu terpesona kepada presiden! Sedangkan bila pelakunya wanita, kami tekan bagian atas dadanya."

"Kadang-kadang ada wanita-wanita yang mau berjam-jam menanti presiden. Mereka berdiri di sepanjang tambang yang dipasang sebagai pembatas sambil minum kopi untuk menghangatkan badan. Tak bakal mereka rela pergi meninggalkan tempat strategis itu. Maka tidak heran, ketika presiden muncul dan akhirnya berjabatan tangan dengan mereka, wanita-wanita itu pun mengompol!"

"Banyak pula orang yang begitu asyiknya berusaha melihat presiden, sehingga tidak menyadari bahwa ia sudah nyelonong ke jalan raya. Setelah berhasil, karena demikian senangnya, kadang'kadang ada yang tak sadar akan tertubruk mobil, sehingga kami hams menyambar orang itu."

"Rawhide" gemar berjemur

Ford populer di kalangan para agen rahasia. Jika para agen rahasia menggigil kedinginan di luar Camp David, ia menyelundupkan sandwich telur, di saat atasan si agen tidak melihat. Ia akan mengedipkan mata dan bilang, 'Wah, dingin sekali di luar sini. Saya akan ambilkan kamu secangkir kopi.' Hal-hal begini tak mungkin kami lupakan."

Pernah pula Marty menyelamatkan Ford ketika ia terperosok ke lubang yang dalamnya 2 m lebih. Marty menyambar ikat pinggangnya dan mengangkatnya ke atas. "Setelah itu saya dipanggil ke suite mereka dan presiden bilang saya telah menyelamatkan nyawanya."

Dalam kampanye tahun 1976, Marty pernah ditugaskan mengawal "Rawhide", nama sandi untuk Ronald Reagan.

"Kami pernah mengumpulkan kayu di rumahnya di Kalifornia dan ia banyak bercerita tentang kehebatannya ketika masih gubernur. Namun, begitu pukul 14.00, tak peduli betapa sibuk stafnya, Reagan akan berjemur di tepi kolam renang."

"Pernah suatu kali dalam penerbangan, Reagan tiba-tiba terlompat berdiri sambil megap-megap. Ternyata ia tersedak kacang. Untunglah seorang agen berhasil menolongnya mengeluarkan kacang itu."

Tahun 1978 akhirnya Marty ditugaskan di tempat yang tertinggi: satuan kawal Dinas Rahasia di "Crown", Gedung Putih. Presiden waktu itu adalah Jimmy Carter, yang dijuluki Deacon (diakon = ulama).

"Di Gedung Putih, Dinas Rahasia memasang tombol darurat di mana-mana. Maksudnya supaya presiden bisa segera menekan bel itu jika terjadi sesuatu. Semua agen diberi tahu bahwa jika ia mendengar tombol itu berbunyi, kami harus segera masuk ke ruang yang bersangkutan tanpa perlu mengetuk dulu dan dengan pistol di tangan."

"Suatu hari saya mendengar tombol di kamar mandi dekat Oval Office berbunyi. Saya boleh dikata hampir mendobrak pintu kamar mandi, tetapi yang saya lihat di dalam adalah Jimmy Carter sedang menutup ritsleting celananya. Rupanya tombol darurat dikiranya tombol penyiram kloset WC."

"Sejak itu ia sangat dingin terhadap saya. Namun, mungkin juga saya yang terlalu perasa. Soalnya, agen-agen lain bilang Carter memang begitu. Justru di saat ia memberikan perhatian, kami bakal merasa lebih baik ia tak usah memberi perhatian."

"Suatu hari saya sedang bertugas jaga di rumah Carter, di Plains, Georgia. Carter berjalan melewati saya. Ia akan pergi memancing. Dua jam kemudian ia pulang dan berkomentar, 'Oh, belum tertidur?' Di saat lain, kami sedang mengawal dia untuk menandatangani suatu perjanjian menyangkut Terusan Panama. Ketika kami sedang berlari-lari mengikuti konvoinya, turun hujan amat lebat. Sampai berkilo-kilometer jauhnya kami harus berlari di bawah siraman hujan deras itu. Sepatu kami basah, setelan kami menyusut. Ketika Carter turun dari mobil dan melihat kami berdiri dengan pakaian basah kuyup, ia berkata, 'Kalian memang agak tolol. Kenapa tidak berusaha supaya tidak kehujanan?'"

"Deacon" yang tidak mau kalah

Carter ternyata orang yang tak dapat menerima kekalahan dengan rela. Itu terbukti waktu tim sofbol Dinas Rahasia berhasil mengalahkan timnya. Ia pun secara sepihak bersaing keras dengan seorang agen rahasia bernama Jack Smith. Jack orang yang baik sekali dan sangat lihai dalam lari jarak jauh. Kalau Jack dan Carter berjoging, Carter selalu akhirnya mengotot. Bila Jack berhasil membuat rekor baru, ia akan bilang, 'Coba, bagaimana dia nanti kalau sudah berumur 54 tahun.'"

"Pernah Carter ikut lari maraton. Hari itu panas dan lembap. Kecepatan lari Carter terlalu tinggi, sehingga tak mungkin ia akan dapat mempertahankan kecepatan itu. Jack Smith menjejerinya dan membujukinya agar mengurangi kecepatan. Tetapi Carter tidak menggubris. Akhirnya, ia jatuh pingsan. Tadinya kami kira ia meninggal. Kami baringkan ia di kursi belakang mobil. Ia megap-megap, matanya mendelik. Kami panggil dokternya, kami beri dia oksigen dan syukurlah, ia sadar kembali."

"Mungkin karena tidak pernah mengalami ditembak seperti Ford, Carter kelihatannya beranggapan bahwa Dinas Rahasia terlalu membesar-besarkan bahaya. Kadang-kadang kalau kami sedang menggiring dia melewati kerumunan orang, ia berkata, 'Minggir sedikit.' Kadang-kadang kami kabulkan permintaannya itu dengan akibat: dalam waktu lima belas detik kerumunan orang langsung menerkam dia. Kalau sudah demikian, dengan wajah ngeri bercampur menyesal ia menoleh kepada kami."

"Namun, pernah Carter kelihatannya menjadi sadar betul bahwa mungkin memang benar jabatannya itu lebih berbahaya daripada yang diduganya. Hari itu ia datang ke New York untuk menandatangani paket bantuan pemerintah federal untuk kota itu. Dua minggu sebelumnya saya ke New York untuk mengadakan rapat-rapat dengan sekitar lima puluh orang dari pihak militer, kepolisian, dan semua saja yang bertugas di bidang keamanan."

"Kalau melihat pemandangan di saat Carter akan mendarat di lapangan helikopter di 33th Street, East River, Anda tidak akan percaya! Malam itu tidak hanya kepolisian, angkatan udara, marinir, tetapi semua tim penyelamatan darurat yang ada di New York City muncul di sana untuk mempertontonkan perangkat keras mereka kepada presiden. Saya rasa mereka ingin menunjukkan kepadanya ke mana saja dana dari pemerintah federal selama ini."

Siapa tahu bocor

Polisi berjejer di samping truknya, pemadam kebakaran siap dengan tabung pemadam kebakaran di punggung, manusia-manusia katak berkecipak di sekitar dermaga. Ketika deru helikopter presiden mendatangi, semua orang menengadah. Helikopter mendarat di dermaga yang terang-benderang bagaikan siang. Pokoknya, mirip pendaratan pesawat ruang angkasa di dalam film."

"Carter turun dari heli dan berhadapan dengan orang-orang ini, yang semuanya mengenakan topeng yang berbeda-beda. Saya menjemputnya dan mengantarnya ke mobil. Ketika kami melewati mobil kamar operasi, Carter melongok ke dalam. Satu tim ahli bedah sedang berdiri mengelilingi meja bedah. Air menetes-netes dari siku mereka menandakan mereka baru saja mencuci tangan. Di bawah sinar lampu antibakteri dan dengan berpenutup wajah pula, mereka melambaikan sarung tangan kepada Carter. Seolah-oleh berkata, 'Halo! Kami sedang berjaga-jaga, siapa tahu kepala Anda bocor!'"

"Carter memandang mereka, memandang saya, lalu bergidik, seolah-olah ia baru saja melihat dirinya terbaring di meja bedah itu. Seolah-olah orang-orang ini mengetahui persis apa yang akan terjadi malam itu, yang ia sendiri belum tahu. Saya pun ikut-ikutan bergidik."

"Suatu hari Carter datang ke New York untuk berpidato di depan PBB. Saya sedang menunggunya di First Avenue untuk mengawalnya masuk ke PBB melalui US Mission. Tiba-tiba kami mendapat panggilan radio: ada yang melihat moncong senapan di jendela sebuah gedung apartemen yang menghadap ke jalan."

"Dari atap gedung, para polisi sudah mengarahkan senapan berteleskop mereka ke jendela itu. Mereka tidak mau mengambil risiko apa pun. Pokoknya, siap tembak. Beberapa agen Dinas Rahasia buru-buru berlari ke gedung itu. Karena lift rusak, mereka harus naik lewat tangga darurat sampai kira-kira ke lantai tujuh belas. Tepat ketika mereka mengetuk pintu apartemen yang bersangkutan, radio berkata bahwa dari helikopter polisi melihat senapan itu baru saja ditarik masuk dan disembunyikan di bawah sofa."

"Pintu apartemen itu dibuka oleh sepasang suami-istri kelas menengah yang berpenampilan amat biasa. Mereka bilang tidak tahu-menahu tentang senapan. Lalu agen-agen itu bilang, 'Bagaimana dengan yang di bawah sofa?' Barulah mereka berterus terang bahwa anak mereka baru saja menggunakan senapan mainan yang berteleskop untuk melihat presiden. Sementara itu Carter tentu kami tahan di lobi US Mission. Lagi-lagi Dinas Rahasia membuat ia terlambat. Tetapi paling tidak, anak pasangan suami-istri itu masih tetap hidup untuk melihatnya menyeberang jalan."

Kalau sudah bicara tentang detail-detail Gedung Putih, wewenang seorang agen benar-benar tidak terbatas. Misalnya, jika butuh diantar ke luar negeri untuk mendahului presiden, saat itu juga Marty bisa menelepon pesawat terbang komersial, misalnya Boeing-707. "Pihak penerbangan akan mengatakan, 'Menurut jadwal kami baru akan lepas landas lima jam lagi.' Tetapi agen tersebut akan bilang, 'Maaf, kami harus berangkat sekarang.' Bisa saja awak pesawat enam, penumpangnya hanya seorang! Kalau menyangkut presiden, uang tidak jadi masalah."

"Tetapi di saat lain saya merasa seperti penjaga pintu yang perlente. Di depan Oval Office, kami biasanya menghabiskan waktu dengan melemparkan uang logam ke sebuah lubang kecil di bawah langit-langit. Mungkin sampai sekarang bertumpuk uang sen-an di sana."

Ber-sparring kata dengan Muhammad Ali

Di depan Oval Office, ada daya tarik lain, "Orang-orang paling kaya dan terkenal di dunia datang dan duduk di sana menunggu saat bertemu dengan presiden. Ada yang menggigiti kuku, menekan-nekan buku jari, mengencangkan dasi, atau merapikan rambut. Paul Newman terus-menerus mondar-mandir. Katanya, 'Saya gugup sekali.' Saya bilang, 'Beberapa menit lagi saya akan digantikan orang lain. Bagaimana kalau saya ajak Anda berjalan-jalan dan minum kopi?' Maka kami minum kopi. Saya katakan kepadanya, 'Jangan khawatir, mungkin ia lebih gugup dari Anda. Anda 'kan lebih dulu terkenal daripada dia.'"

"Sophia Loren membuat kami, para agen, tercengang-cengang. Dengan tenangnya ia duduk di kursi, menumpangkan kakinya dan membaca. Padahal kursi itu biasanya hampir tidak pernah diduduki orang."

"Muhammad Ali mula-mula gugup. Saya katakan kepadanya, 'Anda ternyata tidak setegar kelihatannya.' Kami sedikit mengadakan sparring kata-kata dengan bercanda. Ia melihat ke telepon teknologi tinggi yang tersedia di sana dan katanya, 'Apa yang akan Anda kerjakan, kalau saya mendadak lari kencang ke telepon itu?' 'Anda tidak bakal bisa berlomba dengan ini,' kata saya sambil menyingkapkan jas saya. Akhirnya, masuklah ia ke dalam bersama seorang profesional muda yang membawanya untuk bertemu dengan Carter. Ketika keluar, profesional muda itu bersungut-sungut. Saya kira telah terjadi salah paham tentang jumlah yang akan disumbangkan Ali kepada Carter. Ali berkata, 'Saya 'kan tidak pernah berjanji apa-apa kepada Anda.' Saya geli."

Kucing-kucingan dengan wartawan

Gedung Putih itu tampaknya saja tempat yang tenang dan santai. Ada kebunnya, lonceng besar, dan perapian. Namun, kita dapat merasa jika sedang terjadi sesuatu yang penting. Orang-orang berjalan masuk ke Oval Office dan menutup pintu."

"Korps pers Gedung Putih sangat ingin tahu siapa yang baru saja masuk, seberapa cepat mereka berjalan, apa yang mereka gumamkan ketika keluar dari Oval Office. Yang kurang ajar adalah wartawan. Kalau seorang agen berani-berani minum bir dalam perjalanan mengawal presiden, ia harus bersiap-siap membaca berita itu besar-besar di koran. Sebaliknya, para wartawan itu boleh merusak perlengkapan hotel, mematahkan papan lompat kolam renang ataupun melemparkan kaleng-kaleng bir ke dalam kolam, tanpa secuil pun hal itu muncul di koran."

"Mereka dengan kami seperti bermain kucing-kucingan saja. Pernah saya mendatangi kendaraan CBS untuk minta minum. Di sana saya mendapat panggilan radio, sehingga harus memberikan jawaban lewat mikrofon di pergelangan tangan saya. Eh, saya mendengar suara saya sendiri. Ternyata orang-orang CBS itu sedang memonitor frekuensi Dinas Rahasia. Namun, kami toh sudah tahu bahwa para wartawan melakukan hal itu. Itulah sebabnya hal-hal penting selalu harus disampaikan langsung."

"Biarpun demikian, di pesta biasanya wartawan lebih menyenangkan daripada sesama agen. Mereka lebih bebas dan terbuka, walaupun kami tetap harus berhati-hati."

"Suatu hari dalam sebuah pesta saya sedang duduk-duduk di lantai bersama kawan-kawan wartawan. Seseorang bertanya, 'Anda akan datang ke pesta kami minggu depan 'kan?' Saya bilang, 'Wah, tidak bisa. Saya harus pergi ke luar negeri.' Langsung saja semuanya membombardir saya dengan, 'Ke mana? Ke mana?' Waktu itu hanya sedikit orang yang mengetahui bahwa Carter akan mengadakan kunjungan singkat menyangkut masalah perundingan damai Mesir dan Israel. Maka para wartawan ini mulai merayu saya, 'Ayolah, kita 'kan kawan. Ini akan off the record, kok.' Jadi, akhirnya saya bilang, 'Oke, kami akan ke Mesir.' Nah, wanita wartawan yang mengadakan pesta itu segera bangun dan menelepon kantornya. Itu dilakukannya di depan hidung saya! Kata saya, 'Taruh kembali telepon itu. Beraninya, kamu!' Saya marah bukan main. Orang-orang lain mendukung saya. Sejak itu setiap hari ia meninggalkan pesan di mesin penerima telepon saya, 'Masih marah kepada saya?' Tetapi saya tidak pernah menelepon dia kembali."

"Tutup mulut, Bu!"

Sering kali keluarga Carter lebih gampang dilayani dari pada Carter sendiri. Saya suka sekali kepada ibundanya. Miss Lillian selalu bersikap hangat jika berjumpa dengan siapa saja. Misalnya, ia menggenggam tangan saya dan berkata, 'Tangan Anda hangat sekali.' Pokoknya, kita dapat membayangkan wanita ini mengikuti Korps Perdamaian di India ketika ia sudah berusia 68 tahun. Ia juga mengaku bahwa Gedung Putih itu membosankan. Suatu hari ada jamuan makan malam kenegaraan yang besar untuk PM Irlandia. Rupanya Miss Lillian suka pada pidato PM tersebut, sehingga ia meneriakkan yel-yel, 'Betul, bilang saja, Prime!' Jimmy Carter melemparkan senyum penuh arti kepada ibunya, yang kira-kira mengatakan, 'Tutup mulut, Bu.'"

"Saya sudah setahun bertugas di Gedung Putih ketika ditugaskan menjadi salah seorang pengawal utama Rosalynn Carter (nama sandi "Dancer")- Walaupun ia first lady yang sangat aktif, sifat keibuannya sama saja seperti ibu-ibu lain. Saya biasa mengantarkan dia dan Amy ke tempat les biola. Sementara menunggui Amy, kami menanti di ruangan lain. Rosalynn bertanya kepada saya, 'Menurut Anda, Amy mengalami kemajuan atau tidak?' Jawab saya, 'Saya rasa begitu,' padahal yang saya dengar masih seperti suara kucing merintih."

"Suatu kali kami sedang berada di tanah pertanian Carter di Georgia. Carter dan seorang agen sedang memancing di perahu. Saya berjaga di tepi danau dengan seorang agen lain. Mendadak ada bunyi gemerisik dari arah hutan di belakang kami. Mula-mula saya tidak tahu itu suara apa. Ternyata seekor kelinci yang amat besar sedang terbirit-birit dikejar rubah. Si kelinci kabur ke tepi danau, menengok ke belakang, lalu terjun. Ia berenang ke arah perahu Carter. Agen di atas perahu melihat ada sesuatu yang meluncur deras ke arah mereka bagaikan terpedo. Ia bertanya lewat radio, 'Apa sih itu?'"

"'Saya jawab, 'Kelinci.'"

"'Katanya lagi, 'Robot?'"

"'Bukan, kelinci. Seperti dalam cerita Bugs Bunny.'"

"Nah, melihat 'terpedo' ini, Carter mengambil dayung lalu berusaha memukulnya, sampai percikan airnya membasahi si agen rahasia. Si kelinci bingung: di belakang ada rubah, di depan ada presiden. Akhirnya, ia berenang ke arah lain."

"Rosalynn dan Jimmy Carter suka juga bersantai di Camp David. Di sana, di Pegunungan Catoctin, Maryland, di tengah-tengah hutan seluas 54 ha yang dijaga oleh patroli marinir dan dikelilingi pagar berduri beraliran listrik, suami-istri Carter berjalan bergandengan tangan di bawah cahaya rembuIan."

Begin dan Sadat

Suatu malam, kami bertiga pergi berjalan-jalan. Hari menjelang tengah malam. Suara para penghuni hutan nyaring bersahut-sahutan. Mendadak ada rentetan suara bedil di atas. Saya segera tahu, itu senapan M-16. Kemudian terdengar teriakan, 'Berhenti!'

Di bawah cahaya rembulan saya lihat tampang seorang marinir muda. la masih baru benar dan pasti sudah diberi tahu bahwa tidak ada orang yang akan lewat jalan tersebut malam itu. Sebenarnya saya sudah memberi tahu kepada pos jaga agar memberitahukan kepada marinir tempat kami berada malam itu, tetapi mungkin berita itu belum sampai ke telinganya.

Jadi, sementara Rosalynn dan Jimmy berdiri diam membeku, saya maju. Dengan sangat perlahan saya berkata, 'Saya bersama presiden. Saya akan mengambil lampu senter dan menyinari wajah saya.' Perlahan-lahan sekali saya berjalan ke arahnya, menunjukkan kartu identitas saya. Oh, dia ketakutan setengah mati. Dikiranya ia akan diajukan ke pengadilan militer. Tetapi saya katakan kepadanya, tindakannya benar dan bahwa siapa saja dapat mengalami kejadian seperti itu."

"Ketika terjadi Perundingan Camp David, saya ada di sana pula. Menachem Begin dan Anwar Sadat belum lama berada di sana, ketika suatu hari saya menyalip Sadat yang sedang berjalan dengan tongkatnya sambil mengisap pipa. Ketika saya sudah tiba di pos saya, saya lihat Begin berjalan mendekat dari arah berlawanan dengan kedua tangan di saku. Saya memang mempunyai harapan bahwa mereka akan sempat berbincang-bincang berdua, tanpa didampingi tim perunding masing-masing. Mereka bertemu tepat di hadapan saya, kemudian berjalan berdua menuju hutan. Begin memungut selembar daun dan menggulung- gulungnya di tangan. Hanya dengan melihat bahasa tubuh mereka, saya merasa sesuatu yang baik akan terjadi."

"Di Gedung Putih, saya senang memandang pohon besar di tengah-tengah Rose Garden. Pada malam hari, kalau saya tahu hari itu telah terjadi suatu peristiwa bersejarah, saya merasa Gedung Putih bagaikan diterangi lampu-lampu, Rose Garden bagaikan Taman Firdaus dengan Pohon Pengetahuan Baik dan Buruk berada di tengahnya. Presiden sedang tidur di lantai atas dan saya duduk di salah satu ruangan lantai bawah, dalam kegelapan. Saya melihat ke luar jendela, melalui kaca jendela tua yang tidak begitu sempurna itu dan saya pun membayangkan apa kira-kira yang dipikirkan oleh seseorang seratus tahun yang lampau di ruangan itu. Saya pandang dan saya pandang semuanya, sampai saya dapat mengingatnya, sehingga saya tidak akan lupa bagaimana rasanya berada di sana."

Pagi atau malam?

Marty memang menghargai saat-saat ia bertugas sebagai agen Dinas Rahasia, tetapi pengalaman-pengalaman berharga itu tidak cuma-cuma diperolehnya. "Tiga minggu sekali kami harus mengganti pola tidur. Lama-kelamaan lonceng hanya seperti hiasan saja. Penghasilan saya memang cukup (yang terakhir AS$ 45.000 setahun), tetapi sering terjadi, kalau terbangun di sebuah kamar hotel yang gelap, saya kebingungan sedang berada di mana. Arloji menunjukkan pukul 07.00. Setelah mencari-cari tumpukan korek api, barulah saya tahu: Jenewa, Swis, seperti yang tercantum di situ. Kadang-kadang kami harus menggedor kamar agen bahkan hampir mendobrak pintunya, tetapi ia terus saja mendengkur."

"Mungkin karena tidak pernah cukup lama berada di satu tempat, saya jarang sekali dapat membina hubungan yang serius dengan wanita."

Sebenarnya Marty dapat pindah ke bidang pekerjaan yang bersifat kantoran. Tetapi ia senang pergi ke tempat-tempat yang jauh. "Saya melamar ke Dinas Rahasia karena ingin terjun ke masyarakat. Saya masih ingin aktif bertindak mencegah pembunuhan."

"Di Dinas Rahasia saya tidak mempunyai banyak teman," begitu Marty mengaku. "Saya mengagumi pengabdian mereka, tetapi rasanya mereka bukan orang-orang yang cocok menjadi teman bagi saya. Saya sangat kesepian. Jika kami mendarat di suatu kota di luar negeri, rekan-rekan saya akan pergi berjalan-jalan atau pergi minum-minum. Walaupun diajak, saya tidak mau ikut. Saya lebih senang pergi sendiri."

Bergabung dengan kaum punk

Di London akhirnya Marty menemukan lingkungan yang cocok, yaitu kelab musik punk. "Saya tidak percaya melihat betapa histerisnya pemandangan yang saya lihat di sana. Semua orang berjingkrak-jingkrak seperti kanguru, saling memukul dan tertawa-tawa. Di panggung, pemain band merajah gitar mereka sendiri dan menabuh drum secepat-cepatnya."

"Saya terpesona. Hampir selama bertugas di Dinas Rahasia, saya tidak pernah lagi mendengarkan musik. Saya tidak lagi bermain gitar. Musik punk adalah pesona pertama yang saya rasakan setelah bertahun-tahun. Saya ingin bergabung dengan gerombolan liar ini di luar jam tugas. Saya ingin menjadi pelanggan kelab mana saja yang berani menolak orang macam Anastasio Somoza."

"Jadi, pada malam hari saya berdandan yang aneh-aneh supaya in. Rasanya senang bisa terlepas dari samaran saya seharihari: setelan jas dan dasi."

"Maka di kota mana pun saya cari kehidupan malamnya. Teman-teman baru saya tidak mengetahui apa pekerjaan saya. Setiap kali saya muncul kembali dan menyapa mereka, mereka cuma bilang, 'Bagus, kamu sudah kembali!'"

"Di awal tahun 1980, ketika mendengar bahwa Richard Nixon akan pindah dari San Clemente ke Manhattan, saya sambar kesempatan itu. Saya ingin terjun ke kehidupan malam New York. Saya sudah bosan pada Carter dan saya ingin tahu orang seperti apakah mantan Presiden Nixon. Pada saat itu saya sudah tidak berpihak ke pandangan politik mana pun. Saya hanya melulu ingin tahu tentang orang ini."

Mana kode posnya?

Setelah Nixon pindah ke East 65th Street, para wartawan tidur di depan pintunya. "Nixon yang nama sandinya 'Searchlight' ini biasanya bertanya lewat intercom, 'Mereka masih ada?' Setelah melihat ke monitor video saya menjawab, 'Yep, masih.' Selama seminggu ia menelepon saya dengan pertanyaan yang sama. Akhirnya, suatu hari saya menjawab, 'Sudah tidak ada.' Setengah jam kemudian Nixon berkata, 'Saya akan ke kantor pos.'"

"Di dalam hati saya berkata, 'Aduh, hanya untuk ke kantor pos kami harus repot mempersiapkan limusin dan mobil pengiring.' Jadi, saya bilang, 'Mr. President, Anda ingin mengirim sesuatu? Saya dapat memanggil salah seorang staf Anda untuk datang mengambilnya.' Tetapi ia bilang, 'Tidak. Saya ingin pergi ke kantor pos sendiri.'"

"Maka kami mencari kantor pos terdekat, kemudian memanggil mobil-mobil yang kami butuhkan. Setelah jalan kami nyatakan aman, Nixon keluar dengan mengempit bungkusan cokelat."

"Saya bayangkan, karena hari itu hari biasa dan sudah sore, mestinya kantor pos tidak ramai. Ternyata, kantor pos penuh sekali. Begitu Nixon masuk, kantor pos seperti meledak. Tanpa sopan santun lagi mereka berteriak-teriak, 'Astaga! Nixon!' Kaum wanita sibuk mengeluarkan kamera saku dari tas masing-masing dan mulai jeprat-jepret. Orang-orang mulai berebut minta tanda tangan."

"Sedikit demi sedikit kami berusaha maju dalam antrean. Saya lihat kepala kantor pos dan semua juru tulisnya memperhatikan kami. Semuanya memperhatikan, kecuali seorang juru tulis, yang kelihatannya sama sekali tidak menyadari adanya keributan yang begitu ingar-bingar. Dialah yang kemudian berkata kepada Nixon, 'Berikutnya.'"

"Mendadak wajah yang paling terkenal di dunia terpampang di hadapannya. Tetapi demi Tuhan, ia pura-pura tidak kenal! Nixon mendorong paketnya di counter ke arah wanita itu. Alamatnya: 'Kepada Presiden Richard M. Nixon, New York, New York.' Ia mengirim paket untuk dirinya sendiri."

"Wanita petugas itu memandang ke paket dan berkata, 'Mana nomor kode posnya?'"

"Nixon bertanya, 'Apa?' Ia menoleh kepada saya dan berbisik, 'Kode pos?' Saya maju dan berkata, Tolong lihat di bawah San Clemente.' Ia keluarkan buku kode posnya, tetapi tidak berhasil menemukannya. Kata saya, 'Coba di bawah San Diego. Soalnya, dekat sana.' Ia tetap tak dapat menemukannya. Akhirnya, ia sodorkan buku itu kepada saya dan saya dapat menemukannya."

"Ia menimbang paket tersebut dan berkata, 'AS$ 7,49.'"

"Wajah Nixon seperti orang yang ketahuan baru melanggar hukum. Ia mulai merogoh-rogoh sakunya. Ia tidak membawa uang sepeser pun! Untunglah, kepala kantor pos yang sejak tadi sudah memperhatikan sambil meneteskan keringat sebesar biji jagung, menepuk bahu juru tulis tersebut dan berkata, 'Tidak usah, tidak usah, ia tidak usah membayar ongkos.'"

'"Kenapa tidak?'"

'"Karena ia dulu presiden Amerika Serikat.'"

"Maka wanita itu berkata, 'Peduli amat dia dulu apa, menurut timbangan AS$ 7,49!'"

"Siapa tahu wanita ini adalah salah seorang yang berpendapat bahwa Nixon seharusnya tidak diampuni, apalagi diberi fasilitas pribadi. Pokoknya, semua orang ikut memperhatikan. Maka kata Nixon, 'Saya tidak keberatan membayar!' Ia memberi isyarat kepada saya agar meminjaminya AS$ 10."

"Walaupun akhirnya Nixon tetap tidak usah membayar, pastilah pemunculan di depan umum seperti itu sama sekali bukan yang diinginkannya."

Ini untuk apa?

Nixon sering membuat kejutan juga. Di kantor dokternya, ia mengenakan gaun seragam pasien secara terbalik. Dengan bagian depan tubuhnya terbuka ia berjalan di lorong kantor dokter itu, sehingga perawat yang berpapasan dengannya melongo."

"Suatu hari alarm di atap rumah Nixon berbunyi. Karena alarm itu belum pernah salah bunyi, kami langsung berpikir, 'Teroris!' Maka berlarianlah kami ke atas atap dengan senapan siap di tangan. Sesampainya di sana yang kami temukan adalah Nixon sedang mengotak-atik unit AC. Percikan api ke mana-mana, bahkan ia sendiri hampir terkena aliran listrik, tetapi tetap saja ia berulang-ulang mengatakan, 'Saya bisa membetulkannya.'"

Nixon mempunyai kebiasaan berjalan-jalan pagi. Suatu hari ia melewati sebuah toko yang bertuliskan, 'Sedia keperluan merokok.' Saya kira ia sedang mencari cerutu. Namun, yang terpajang di dinding toko itu adalah perlengkapan porno kelas berat. Nixon memandangi semua alat-alat itu, lalu menunjuk ke sebuah vibrator berkepala dua. Ia bertanya, 'Itu untuk apa?'"

"Yang berada di belakang counter adalah pria gondrong model hippy 1960-an. Ia terpana. Kita bisa membayangkan apa yang ada di kepalanya, 'Richard Nixon! Di toko saya!' Orang-orang di luar toko sudah mulai menonton sampai menempelkan hidung mereka ke kaca etalase toko. Sedangkan agen-agen lain sedang bersantai ria di luar, berjalan-jalan sambil merokok. Sementara itu Nixon terus bertanya, 'Itu untuk apa?'"

"Kalau sedang berjalan-jalan begini, Nixon mempunyai kebiasaan mengucapkan apa yang sedang ia pikirkan. Kadang-kadang ia melontarkan pertanyaan umpan untuk mengetahui dari mana asal kita, atau termasuk kelompok apakah kita. Misalnya, ia bilang begini, 'Kata orang, kelompok orang-orang ini mengacau lingkungan di sekitarnya.' Karena saya tidak menanggapi, ia melanjutkan, 'Tapi itu toh merupakan salah satu bagian dari proses yang dialami kaum imigran."'

"Kalau tidak, ia berdebat seru dengan dirinya sendiri perihal politik dunia. Di saat-saat mendengarkan debatnya itu, Anda sungguh tak akan percaya bahwa inilah orang yang di rumah sakit mengenakan gaun pasien terbalik. Jelas, ia bernafsu sekali mengenai masalah Iran. Ia jengkel kepada Carter yang memperlakukan Shah sebagai pengungsi politik, padahal ia pasien kanker. Dengan fasih ia beberkan semua pilihan yang dapat dilakukan presiden AS untuk membebaskan sandera di Iran. Setelah diam sejenak, ia pun mengupas kelemahan-kelemahan semua pilihan itu."

Ketika sedang berkunjung ke Jerman, Marty mendengar bahwa dalam misi penyelamatan sandera di Iran, AS kehilangan delapan orang tentara komandonya. "Saya tahu Nixon tentu berminat mengetahui. Maka saya pergi ke kamar hotelnya. Waktu itu ia sedang berpakaian. Namun, yang pertama ditanyakannya adalah, 'Berapa helikopter yang mereka kerahkan?'"

"'Delapan,' jawab saya."

'"Delapan?!"' teriaknya. 'Terlalu! Mestinya 80! 'Kan bukannya kita tidak punya!'"

Seperti buaya sedang mengintai

Kawan-kawan Nixon, Bebe Rebozo dan Robert Abplanalp, amat menghormati dia. Mereka selalu memanggilnya 'Mr. President'. Kalau Nixon sedang ingin berpikir, Bebe betah duduk diam sampai berjam-jam tanpa mengatakan sepatah kata pun."

"Mereka senang ke Laut Karibia. Biasanya mereka bertemu di pulau milik Abplanalp atau kapal pesiar milik Abplanalp menjemput Nixon. Anda pasti sulit percaya mendengar apa saja yang keluar dari mulut Nixon, begitu ia mencopot setelan jasnya dan berpakaian renang."

"Suatu kali seorang wanita lewat sambil membawa keranjang di atas kepala. Komentar Nixon, 'Kenapa perempuan bisa berpantat begitu besar?' Di pantai para nudis, ia berkomentar, 'Kenapa mereka tidak mengenakan pakaian?'"

"Suatu kali kami sedang berlibur di St. Martin. Setiap kali ia ingin berenang, saya segera mengenakan pakaian renang juga dan pergi mengecek keadaan pantai. Setelah dua hari lewat, baru saya sadar bahwa setiap kali saya muncul di pantai, seorang wantia cantik luar biasa berusia menjelang tiga puluh tahunan juga keluar dari rumah penginapannya dengan bertelanjang dada. Ia menempatkan diri dalam jarak tidak terlalu dekat dari Nixon, tetapi toh cukup dekat untuk 'dinikmati'. Nixon masuk ke laut sampai air sebatas hidungnya, lalu mulailah ia mengintai wanita itu, seperti buaya."

Malamnya, Nixon, Bebe, dan Abplanalp makan di restoran hotel dan wanita ini makan di meja sebelah mereka. Kemudian Nixon berkata kepada Bebe, 'Mengapa tidak kamu undang dia ke meja kita?' Maka wanita yang kulitnya matang terjemur matahari ini datang ke meja mereka, dengan gaun tembus pandang dan bagian atasnya berjala-jala. Ketika pulang, di dalam mobil Nixon bilang, 'Wanita yang sungguh-sungguh cerdas! Menguasai tiga bahasa!'"

"Beberapa hari setelah makan malam itu, sebuah kapal pesiar besar membuang sauh di dekat pantai. Ternyata kapal itu milik seorang industrialis baja dari Eropa. 'Kebetulan', wanita itu kenal dengan dia. Ia berkata kepada Nixon, bahwa si cukong besar ingin mengundangnya makan siang di atas kapal pesiar itu. Maka berangkatlah mereka."

"Saya cek catatan administrasi hotel wisata itu. Ternyata yang membayar kamar wanita itu adalah si industrialis tersebut. Si industrialis merancang semuanya itu hanya karena ingin berkenalan dengan Nixon.'"

Akhirnya, menjadi disc jockey

Pada tahun 1981 Marty adalah pengawas tim pengawal Nixon. Tetapi lama-kelamaan Marty tak kuat dengan kehidupan gandanya: siang di rumah Nixon dan malam di lantai dansa.

"Saya mulai benci kepada Dinas Rahasia yang saya rasakan telah merebut hidup saya. Sudah amat banyak pria yang saya lihat menjadi renta sebelum waktunya. Baru berusia tiga puluhan, sepanjang hari yang mereka bicarakan hanya soal pensiun. Saya tidak mau itu terjadi pada diri saya. Bahkan jauh di lubuk hati, saya mempunyai perasaan tidak akan mengalami pensiun seperti itu. Kalau tidak tertembak, saya tentu gila."

Kejenuhan dan keletihan yang dialami Marty akhirnya memuncak. Sekitar September 1981, ia mengundurkan diri dari Dinas Rahasia. Tahun berikutnya ia mendapat pekerjaan di bidang musik yang juga masih menuntut kecakapannya mengendalikan massa. Sekarang Marty tinggal di Long Island. Ia menjadi disc jockey di beberapa kelab malam yang paling liar di New York. Belum lama ini bersama seorang rekannya ia terjun ke bisnis impor piringan hitam.


Intisari-Online.com

0 Response to "Kisah Unik Para Presiden AS"

Post a Comment