Bagaimana wajah Jakarta dan penduduknya pada dekade pertama abad XX? Ternyata seperti dunia lain bagi kita, walaupun ada juga hal-hal yang masih sama dengan sekarang. Kita ikuti saja kesan-kesan Augusta de Wit, seorang wanita Eropa yang mendarat di Tanjung Priok pada awal abad ini dari bukunya Java, Facts and Fancies (1921).
Setiba di Pelabuhan Tanjung Priok, saat akan naik ke kereta api, saya sadar bahwa keadaan di sini berbeda dibandingkan dengan negeri mana pun. Tidak ada yang berebut, berteriak, atau bergegas. Kuli-kuli yang bertelanjang kaki dengan santai memanggul peti-peti besar kepunyaan penumpang kapal. Dengan sabar pula mereka menunggu di kantor dan di peron. Kalau ada orang Eropa yang menganjurkan untuk bergegas, mereka memandang dengan wajah yang keheranan. Kenapa "orang Belanda" ini sangat tidak sabar? Waktu 'kan banyak. Seakan-akan tidak ada hari esok saja. Tergesa-gesa malah celaka nanti!
Akhirnya, kereta berangkat juga, melewati daerah setengah hutan dan setengah rawa. Di sebelah kanan terdapat kanal yang panjang, lurus, dan airnya kehitaman. Saya tiba di stasiun Batavia saat matahari sudah terbenam.
Saya memanggil salah satu kereta kecil beroda dua yang menunggu di depan stasiun. Bentuknya aneh. Lenteranya besar-besar. Kudanya kecil. Kereta itu lewat di jalan besar yang tepi-tepinya dipayungi pepohonan. Sementara itu burung-burung berkicau dengan cerewetnya di antara dedaunannya. Kadang-kadang tercium bau bunga di udara yang tidak berangin. Bunganya sendiri tidak kelihatan.
Dalam kegelapan kami melewati gedung tinggi berwarna putih. Konon itu kediaman gubernur jenderal. Setelah jembatan, dari belokan, tampak sederet jendela toko yang terang benderang di sebelah kiri jalan. Ada juga gedung perkumpulan. Di kanan jalan ada kanal yang diterangi lampu-lampu jalan. Banyak orang berjalan-jalan. Kereta-kereta lewat membawa kaum wanita. Saya sudah tiba di tujuan saya, di Rijswijk (sekarang Jln. Majapahit -Red.) yang terletak di pinggiran Kota Batavia.
Naga di celana
Siang hari cahaya matahari sangat terik. Penjual air yang berkain dan bertelanjang dada lewat memikul kaleng-kaleng air. Bahunya yang coklat berkilat-kilat. Ada juga yang memanggul pikulan bunga, buah, cita, dan batu akik. Kepala mereka dilindungi dengan topi jerami yang lebar dan berbentuk jamur.
Lewat pula orang-orang Arab yang berwajah serius dan orang-orang Cina yang mengobrol sambil tangan mereka tidak henti-hentinya digerakkan.
Orang-orang Eropa sebaliknya tidak kelihatan, kecuali yang lewat dengan bermacam-macam kereta. Rupanya, mereka tidak tahan akan teriknya matahari.
Orang-orang Eropa sesama penghuni hotel saat itu berada di beranda-beranda yang teduh, bermalas-malasan sambil minum limun dingin dilayani pelayan-pelayan pribumi. Sebagai pendatang baru, saya terkejut melihat pakaian mereka. Kaum wanitanya mengenakan pakaian yang tampaknya seperti pakaian penduduk asli, yaitu sarung dan kebaya!
Kebaya itu semacam baju dari kain tipis putih yang dihiasi banyak bordiran. Di bagian depannya disemat dengan peniti-peniti hiasan yang diuntai dengan rantai emas. Sarung adalah sepotong kain warna-warni yang dilipat di bagian depan dan diikat di pinggang dengan ikat pinggang sutera.
Mereka tidak memakai kaus kaki, cuma memakai sandal berhak tinggi. Rambutnya meniru gaya penduduk asli, yaitu ditarik ke belakang dan disanggul di belakang kepala. Menurut saya kurang pantas walaupun orisinal.
Lebih mencengangkan lagi ialah pakaian kaum prianya. Di saat santai mereka memakai baju tidak berkerah. Celananya dari kain sarung yang tipis, dihiasi bunga-bunga merah dan biru, ada yang kupu-kupu dan naga!
Mulut kebakaran
Tapi yang paling di luar dugaan adalah yang disebut rijstafel. Nasi dengan lauk-pauknya itu bukan disajikan di kamar makan biasa, tapi di beranda belakang. Beranda belakang bentuknya memanjang. Atapnya tinggi disangga tiang-tiang putih. Beranda itu menghadap ke kebun yang ditumbuhi tanaman bunga dan pepohonan.
Makanan disajikan oleh pelayan-pelayan pribumi yang bergerak tanpa suara karena bertelanjang kaki. Potongan pakaian mereka setengah Eropa, dipadukan dengan sarung Jawa dan ikat kepala dari kain.
Saya belum pernah mencicipi makanan seperti itu di darat maupun di laut. Makanan utamanya nasi dengan ayam. Tapi di samping itu masih ada ikan, daging, potongan-potongan daging dalam pelbagai saus, pelbagai kari, acar, hati ayam, telur ikan, rebung, dan entah apa lagi. Semua diberi bumbu yang baunya menyengat dan semua diberi cabai. Pokoknya, setiap hari koki mesti menyediakan sekitar 20 macam masakan. Mengherankan, perut pemakannya bisa tahan.
Anehnya lagi, semua itu dimakan dengan memakai sendok di tangan kanan dan garpu di tangan kiri! Masih ada lagi tumpukan pisang, manggis, nenas, rambutan, duku.
Nasi dan lauk pauk ditumpukkan di piring saya. Langsung bibir saya gemetar kepedasan. Leher saya kebakaran sehingga mesti diguyur air. Sementara itu air mata saya bercucuran. Salah seorang yang merasa kasihan kepada saya menyarankan agar menaruh sedikit garam di lidah. Saya menurut dan tak lama kemudian siksaan itu pun berakhir. Sambil terengah-engah, saya bersyukur karena saya masih hidup. Saya bersumpah tidak mau mencoba rijstafel lagi.
Namun, saya melanggar sumpah itu. Pengakuan ini saya nyatakan dengan bangga. Sekarang saya bisa makan nasi dan menyukainya.
Lain siang, lain malam
Selesai makan siang, saya diberi tahu bahwa sekarang saatnya untuk tidur siang. Mungkinkah makanan yang bermacam ragam dan pedas itu membuat orang jadi mengantuk? Ataukah suhu yang panas dan cahaya yang menyilaukan membuat orang ingin tidur? Apa pun alasannya, saya merasa senang bisa masuk ke kamar saya yang teduh dan sunyi.
Dinding kamar itu temboknya putih saja, tidak dilapisi kertas dinding. Langit-langitnya juga demikian. Lantainya ubin merah. Di tengah ada kursi-kursi dari anyaman rotan dan di bawahnya ada sebidang tikar anyaman. Alangkah senangnya saya menyentuh lantai yang tidak berkarpet itu. Kaki terasa sejuk. Dinding yang tidak dilapisi apa-apa itu pun memberi rasa segar.
Tidur siang berlangsung sampai pukul empat sore. Setelah itu orang mulai berseliweran di muka jendela kamar saya. Handuk mereka berkibar sementara alas kakinya berbunyi saat beradu dengan lantai. Mereka bergegas ke kamar mandi.
Pukul lima sore teh dibawa ke beranda. Saat itu udara mulai agak sejuk. Angin sepoi-sepoi meniup daun-daun pohon beringin yang lebat di kebun dan mengayunkan akar-akar gantungnya ke sana ke mari. Bunga-bunga tanjung yang putih berguguran dari cabang-cabangnya sambil menyebarkan keharumannya ke mana-mana.
Warna tembok yang putih menyilaukan kini jadi agak merah jambu. Awan sirus yang lembut seperti bulu melayang tinggi di langit yang biru tua, tempat kalong-kalong mulai terbang berputar-putar. Pukul enam hari mulai gelap. Orang-orang yang duduk di beranda mulai meninggalkan teh mereka.
Setengah jam kemudian, saya lihat kaum wanita keluar mengenakan rok buatan Paris sedangkan kaum pria mengenakan setelan jas malam. Beranda depan hotel, sebuah bangsal besar yang disangga tiang-tiang, sudah terang-benderang. Seorang gadis duduk menghadapi piano, memainkan lagu-lagu seperti yang digubah oleh Grieg dan Jensen.
Ketika pukul delapan menghadiri makan malam, saya dapati menunya sama seperti yang ditemukan di hotel-hotel Eropa. Sulit bagi saya membayangkan kembali ketercengangan saya menyaksikan adegan-adegan tadi siang yang mengguncangkan gagasan Eropa saya. Rijstafel, sarung kebaya, pelayan-pelayan pria yang berpakaian setengah Eropa setengah Jawa, semua serasa cuma mimpi. Saya baru percaya bahwa hal itu sungguh-sungguh terjadi tatkala ada tangan langsing berwarna coklat mengangkat piring ikan saya untuk diganti dengan asparagus.
Sudah berlangganan banjir
Yang disebut "kota" adalah Batavia lama. Penampilannya kelabu, suram, dan tidak berjiwa, seperti kota-kota Eropa yang menjadi korban perang. Memang "kota" ini didirikan sebagai benteng pada tahun l620 di reruntuhan Jacatra.
Kini sudah tidak ada lagi tentara di sana. Rumah-rumah megah gaya Belanda abad XVII sudah kehilangan pamornya dan berubah menjadi kantor atau gudang. Kota lama ini cuma hidup beberapa jam sehari, yaitu saat jam kerja. Begitu gemuruh trem terakhir meninggalkannya, ia kembali sunyi dan mati.
Kehidupan sudah bergeser ke selatan. Di sini terdapat jalan-jalan besar yang diapit oleh deretan rumah-rumah berhalaman luas. Untuk menandai batas halaman dari jalan, tidak didirikan tembok pemisah, cukup tonggak-tonggak batu rendah.
Rumah-rumahnya berwarna putih dan memakai pilar-pilar. Letaknya jauh dari jalan. Sementara itu di halaman tumbuh tanaman bunga-bungaan dan pepohonan yang meneduhi jalan dan halaman itu sendiri.
Lapangan yang paling terkenal di Batavia adalah Koningsplein (Medan Merdeka - Red.) yang berbentuk trapesium di depan kediaman gubernur jenderal. Kelilingnya ditanami tiga deret pohon asam. Di lapangan itu kita bisa melihat ternak kurus-kurus sedang merumput. Kadang-kadang ada ular dan tonggeret menyelinap di rerumputan.
Di musim kemarau, lapangan itu botak dan coklat. Tanahnya pecah-pecah. Kemudian tibalah musim hujan. Air seakan-akan dicurahkan dari langit. Jalan-jalan dan rumah-rumah kebanjiran. Namun, pohon-pohon yang meranggas bertunas lagi, dan lapangan itu tiba-tiba saja berselimut rumput hijau.
Miskin tapi bahagia
Rijswijk (Jln. Majapahit - Red.), Noordwijk (Jln. Ir. H. Juanda), dan Molenvliet (Jln. Gajah Mada dan Jln. Hayam Wuruk) merupakan daerah perdagangan di Batavia yang kesannya lebih Eropa daripada Koningsplein. Namun, ada juga unsur Jawanya.
Sejajar dengan Noordwijk ada kanal yang mengingatkan pada gracht di Amsterdam. Airnya hijau kecoklatan. Di atas kanal itu ada jembatan-jembatan.
Di kanal itu perahu-perahu membawa barang dan menyeberangkan orang. Perahu itu memiliki bagian yang beratap. Pemilik dan keluarganya tidur dan memasak di perahu. Ada juga rakit-rakit bambu yang ujungnya mencuat ke atas.
Wanita-wanita pribumi yang rambutnya hitam lebat, panjang, dan masih basah sehabis mandi di kanal, naik ke tepi. Sementara itu para penjaja makanan mangkal di bawah pohon asam yang tumbuh sepanjang kanal. Ada yang berjualan kue, buah, maupun minuman manis.
Di sisi jalan terdapat bungalow-bungalow berkapur putih dan memiliki kebun. Kebunnya tidak subur dan jalannya berdebu.
Di pojok-pojok jalan ditemukan sado. Kusirnya memakai semacam rompi berbunga-bunga. Tiap seperempat jam lewat trem uap dengan suara bising di sepanjang kanal. Gerbong kelas tiga "kereta setan" itu penuh sesak dengan penduduk pribumi.
Anak-anak pribumi di tempat ini selalu berbahagia. Padahal mereka tidak mempunyai mainan dan tampaknya juga tidak mempunyai permainan. Paling-paling mereka kecebar-kecebur di kali, menguntai bunga tanjung untuk dipakai sebagai kalung, atau mengikat kaki belakang kecoak dengan tali. Mereka juga telanjang. Namun, seperti orangtua mereka, walaupun kekurangan dan tampaknya tidak memiliki alasan untuk berbahagia, kenyataannya mereka puas.
Mereka memiliki anugerah khusus untuk merasa bahagia dan menikmati hidup ini.
Pecinan
Kalau kita mengikuti kanal ke arah pintu air dan melewati bangunan kantor pos yang buruk, kita akan tiba di jembatan Kampung Baru (Pasar Baru - Red.). Kalau kita menyeberang jembatan itu, tiba-tiba kita seakan-akan masuk ke dunia lain. Jalan yang lebar di sini diapit oleh rumah-rumah yang tinggi dan sempit. Atap gentengnya yang merah seakan-akan menantang langit yang biru lazuardi.
Jalannya ramai dilewati oleh gerobak dan orang yang berlalu-lalang dengan gesit. Inilah Pecinan. Di Batavia ada tiga atau empat Pecinan yang cuma dihuni oleh orang-orang Tionghoa.
Sekarang mereka memang memilih untuk tinggal berkelompok. Namun, sebenarnya kebiasaan ini peninggalan zaman Gubernur Jenderal Valckenier. Waktu itu gubernur jenderal membatasi kedatangan orang-orang Tionghoa yang miskin. Walaupun niatnya baik, pelaksanaannya buruk, sehingga timbul kabar bahwa pemerintah akan mendeportasi penduduk Tionghoa, juga yang tinggal di Batavia. Terjadilah kepanikan yang menghantar ke pemberontakan di seluruh Jawa.
Orang Belanda berhasil menumpas pemberontakan itu dengan menelan banyak korban. Orang-orang Tionghoa melarikan diri ke daerah sekitar Batavia. Beberapa bulan kemudian pemerintah memberikan amnesti umum.
Sisa penduduk Tionghoa yang masih hidup ditempatkan dalam kawasan khusus, supaya mudah dilindungi maupun dikendalikan. Tempat itu kira-kira seperti ghetto untuk orang Yahudi di Italia pada Abad Pertengahan. Sejak itu mereka tinggal di sana.
Mereka itu terdiri atas jutawan yang bisa menjamu perwira dan pejabat pemerintah di rumahnya yang megah dan penuh hiasan, ada pula penjaja keliling yang sepanjang hari menelusuri jalan untuk menawarkan benang dan sabun yang dibawa dalam buntelannya sambil tak henti-hentinya membunyikan "klontong"-nya.
Walaupun yang satu bergelimang harta sedangkan yang lain morat-marit, namun jiwa dan sikap hidup mereka sama. Mereka hidup untuk berdagang. Seorang Tionghoa berdagang dengan seluruh hati dan jiwanya. Sejak dilahirkan sampai dikuburkan, saat makan, saat bersantai, saat mengisap madat, dan di kelenteng sekalipun, mereka tidak pernah melepaskan dirinya dari perdagangan.
Lain dengan orang Barat. Kalau orang Barat berdagang, maka mereka menjadi pedagang cuma beberapa jam sehari, di kantornya.
Bagi orang Tionghoa, perdagangan adalah unsur di mana mereka hidup, bergerak, dan bereksistensi. Dunia baginya adalah kesempatan luas untuk menghasilkan uang. Semua yang ada di dunia bisa diperdagangkan, dipakai mencari untung. Orang lain boleh rugi, mereka mesti untung.
Kebutuhan hidupnya sangat terbatas, modalnya juga, tetapi keyakinannya besar. Tidak heran kalau mereka sukses.
Mulai sebagai penjaja keliling
Ketika baru mendarat di Tanjung Priok, seorang Tionghoa biasanya mulai menjadi penjaja keliling. Dengan bertelanjang kaki ia menggendong buntelan berisi sabun, benang jahit, sisir, dan korek api.
Beberapa bulan kemudian, kita akan melihatnya di halaman rumah kita, dikelilingi seluruh pembantu rumah tangga kita. Saat itu ia sudah berjualan sarung dan cita.
Setahun berlalu. Kita melihatnya berjalan diikuti seorang kuli yang memikul barang-barang banyak sekali. Dengan sopan ia akan menawarkan barang-barang itu kepada kita.
Kalau kita sabar sedikit mengikutinya, kita akan sempat melihat ia membuka warung kecil yang cuma dilengkapi sebuah bangku dan sepotong kaca di dinding. Sementara itu di sekelilingnya ada segala macam barang dagangan.
Ia tidak puas hanya dengan memiliki warung. Beberapa tahun kemudian dia sudah berdiri di belakang gerai sebuah toko di Pecinan. Kalau kita sempat memandang istrinya sekilas, kita akan heran melihat betapa besarnya intan-intan di tusuk sanggul wanita itu. Si penjaja keliling sudah merintis jalan ke kemakmuran sekarang.
Sebelum mencapai umur 50 tahun, ia sudah memiliki rumah besar yang terpisah dari tokonya. Rumah yang mempunyai altar untuk memuja para dewa dan moyangnya, rumah yang penuh perabot berukiran halus dan bercat keemasan. Sekarang ia akan mengundang kita ke rumahnya untuk merayakan Tahun Baru Imlek.
Kalau kebetulan Anda datang bersama istri, ia akan memperkenalkan istri Anda kepada istrinya yang bertaburkan intan dan berpakaian warna-warni. Dia akan menceritakan kepada Anda perihal pemakaman ayahnya yang menelan biaya lebih dari 3.000 ponsterling. Lalu dia akan meminta saran Anda perihal sampanye dan juga rencananya mengirim putranya ke Eropa dengan salah satu dari sekian banyak kapalnya. Setelah putranya melihat dunia, ia akan memasukkannya ke Universitas Leiden.
Mesti mandi setiap hari
Di Batavia yang panas, orang-orang Belanda mulanya membuat rumah bertingkat di tepi kanal seperti di tanah airnya. Mereka juga mempertahankan mantel dan pakaian bludrunya, tidak peduli matahari luar biasa teriknya. Tidak heran kalau sedikit saja yang bisa pulang selamat ke Belanda.
Kemudian mereka insaf bahwa di negeri yang panas ini, yang mereka perlukan adalah rumah yang teduh dan sejuk. Jadi mereka membuat bungalow, bukan rumah bertingkat. Kelilingnya kerap diberi beranda supaya teduh.
Untuk memasuki rumah, kita menaiki beberapa anak tangga dulu, lalu kita tiba di serambi yang disangga pilar-pilar. Melalui pintu di tengah yang sepanjang hari terpentang, kita masuk ke sebuah ruangan yang di kiri-kanannya terdapat jajaran kamar-kamar tidur.
Ruang ini menuju ke serambi belakang yang lebih lebar dari serambi depan. Kebanyakan orang duduk-duduk di sini. Meja makan pun diletakkan di sini.
Serambi ini menghadap ke kebun belakang yang ketiga sisinya dikelilingi bangunan. Ada bangunan tempat tinggal para pembantu bersama keluarganya, ada dapur dan gudang, ada kamar mandi dan istal.
Ada lagi bangunan tambahan yang disebut paviliun untuk tamu menginap. Orang-orang di Hindia Belanda paling murah hati dalam menerima tamu, entah itu kerabat, teman, ataupun orang asing yang dibekali surat dari kenalan bersama di Holland. Tamu bisa menginap berbulan-bulan.
Supaya terasa sejuk, lantai rumah yang terbuat dari marmer tidak diberi karpet. Tempat duduk pun dibuat dari kayu dan anyaman rotan, bukan dari bludru.
Demi kesejukan pula, di sini orang sudah bangun pukul setengah enam atau paling lambat pukul enam pagi. Siang hari, saat sedang panas-panasnya, orang sembunyi di kamar untuk tidur.
Mandi beberapa kali sehari adalah keharusan. Kalau tidak mandi, artinya tidak sopan. Mandi di Hindia berbeda dengan mandi di Eropa. Kita mengguyur badan dengan bergayung-gayung air. Memang suatu kenikmatan buat jiwa dan raga. Kamar mandinya besar dan sejuk, terpisah dari bangunan utama.
Celana monyet
Seperti halnya dengan rumah, pakaian Eropa memang menyiksa di daerah tropis. Hal ini saya sadari setelah dua minggu di sini. Saya jadi mengerti mengapa mereka memakai pakaian longgar dan tipis gaya pakaian penduduk asli yang dimodifikasi itu. Walaupun aneh, tapi sejuk.
Harus diakui bahwa dengan pakaian itu orang-orang Belanda di Hindia lebih sehat daripada orang-orang Inggris yang mempertahankan pakaian Eropa di koloni mereka.
Anak-anak orang Belanda di Hindia lebih terbuka lagi pakaiannya. Mereka mengenakan pakaian yang disebut penduduk Melayu celana monyet. Pakaian yang cuma sepotong itu tidak cukup untuk menutupi badan. Leher, lengan, dan tungkai dibiarkan telanjang. Walaupun jelek, anak-anak senang memakainya.
Anak-anak Hindia tidak terpisahkan dari babu. Pengasuh pribumi itu pelindung jiwa-raga si anak, seakan-akan malaikat pelindung saja. Sepanjang hari babu menggendong anak asuhannya dengan selendang, yaitu sehelai kain lebar yang diikat ke pundak dan membentuk semacam tempat tidur ayun bagi si anak.
Babu bahkan tidak mengizinkan ibu si anak mengambil anak itu daripadanya. Dialah yang menyuapi, memandikan, mendandani, mengajak berjalan-jalan, dan selalu siap mendekap si anak supaya merasa aman.
Ia mengajak anak asuhannya bermain bukan karena kewajiban, tetapi karena ia memang menikmatinya. Di dalam hatinya ia masih seorang anak. Kadang-kadang mereka bertengkar. Si anak membanting-banting kaki dan si babu memarahi, "Terlalu!"
Malam hari ia mengeloni si kecil sambil meninabobokannya dengan melodi berkunci minor yang monoton. Setelah anak asuhannya terlelap, ia menggelar tikar di depan ranjang dan rebah menjaga majikan kecilnya dengan setia.
Diundang ke istana
Gaji orang Belanda di Jawa lebih tinggi daripada di negerinya. Soalnya, siapa yang mau dikirim jauh-jauh dan bekerja dalam udara panas yang melelahkan kalau gajinya sama saja?
Orang yang gajinya sedang-sedang saja di Jawa bisa memiliki rumah yang besar, punya kereta, makan dengan leluasa, dan pembantu enam tujuh orang. Bahkan tidak jarang sampai l0 orang.
Tak lama setelah kedatangan saya ke Batavia, saya diundang ke pesta dansa di istana. Saat itu saya tinggal di rumah teman saya di Salemba. Kami pergi dengan kereta yang lewat di kegelapan malam, di bawah naungan pohon-pohon beringin. Di bawah pohon kadang-kadang terlihat kelap-kelip cahaya pelita tukang buah. Sekali-sekali sebagian wajahnya yang kena cahaya lampu terlihat, begitu pula keranjang buah-buahannya.
Sekali kami melewati beberapa penduduk pribumi yang sedang berjaga malam sambil mengelilingi api unggun. "Siapa itu?" tanya salah seorang di antara mereka dengan suara parau.
Selama sejam kami serasa berkendaraan dalam hutan yang sunyi dan jauh dari mana-mana. Namun, sekonyong-konyong saja tampak cahaya terang benderang di suatu belokan. Istana Gubernur Jenderal. Di sekitar sumber cahaya itu berserak lentera-lentera, lampu-lampu minyak, dan lampu-lampu kereta. Saya pun mendaki tangga putih menuju ke serambi yang berpilar-pilar putih dan bermandikan cahaya. Tiba-tiba saya merasa bahwa istana-istana dalam dongeng mestinya seperti ini.
Kemudian musik dimainkan dan polonaise dimulai. Intan dan emas gemerlapan, bersaingan dengan kilatan bahu yang terbuka dan lambaian rok yang menyapu lantai pualam berwarna terang .... "Rasanya, kita mesti pindah ke tempat ini," kata pasangan saya.
Sejak itu saya sering diundang ke pesta dan perjamuan. Ada yang menyenangkan, ada pula yang membosankan.
Naik pangkat lewat KKN
Walaupun membosankan, seorang pegawai pemerintah tidak berani tidak hadir di pesta atasannya. Absen ke perjamuan bisa mengalangi ia naik pangkat. Istri atasannya bisa mempengaruhi nasibnya. Kalau istri bos tidak berkenan pada istri anak buah suaminya, jangan harap anak buah itu bisa meniti jenjang karier.
Pegawai pemerintah yang ingin naik pangkat memang tidak bisa cuma mengandalkan kepandaian dan prestasinya, tapi juga latar belakang keluarganya dan "keterampilan khusus". Umpamanya saja, kalau bosnya doyan makan enak, mungkin dia perlu mengantarkan pate-de-foie-gras (makanan mahal dari Prancis yang dibuat dari hati unggas) dan anggur burgundy. Kalau bosnya bangga betul pada putrinya, maka berbahagialah dia yang pandai berdansa dan rajin meminta anak bos berdansa dengannya di pesta-pesta. Kalau bos keranjingan main kartu, beruntunglah dia yang pandai dan tahan meladeni bos main kartu dalam pertemuan-pertemuan di rumah bos.
Semua hari besar yang berkenaan dengan bos sebaiknya diingat baik-baik. Kalau perlu, catatannya ditempel di kaca rias supaya jangan luput dari ingatan. Pada hari itu, begitu lonceng berbunyi tujuh kali di sore hari, buru-buru sajalah berangkat ke rumah bos.
Bagi pendatang baru, birokrasi seperti itu tentu saja sangat menyebalkan, tapi lama-kelamaan mereka jadi terbiasa. Namun, setinggi apa pun pangkat pejabat pemerintah di Jawa, ia mesti pandai menahan diri, sebab kalau ia kembali ke den Haag, ia cuma akan menjadi sekadar Meneer Jansen atau Meneer Smit, bukan residen lagi. Lagi pula teman sepergaulannya di Jawa bukan cuma pejabat.
Belanda yang sudah lama di Jawa, sikapnya lebih luwes daripada Belanda "baru". Bungalow di Batavia yang terbuka, yang dinaungi pohon-pohon tinggi, rupanya mencairkan kekakuan yang terbentuk dalam rumah-rumah keluarga yang seperti benteng abad XVII di sepanjang Heerengracht di Amsterdam.
Hidup di luar rumah
Di Jawa, orang Barat dan orang Timur sudah hidup berdampingan selama tiga abad. Yang satu bisa berbicara dalam bahasa yang lain. Mereka saling tergantung dan tidak saling membenci. Namun, orang Belanda tidak memahami orang Jawa dan begitu pula sebaliknya.
Saya mengaku bahwa saya tidak mengenal jiwa orang Jawa, walaupun saya memperhatikan mereka. Yang saya tahu cuma keadaan lahiriahnya saja.
Kebanyakan mereka hidup di luar rumah: mandi di kali, makan di tepi jalan, bahkan tidur di bawah pohon atau emper rumah, di bawah cahaya bulan. Hal ini tentu ganjil sekali bagi orang-orang dari Utara yang terbiasa memenjarakan dirinya di balik kungkungan dinding dan atap. Namun, kalau melihat mereka, kita mesti mengakui bahwa cara hidup mereka itu baik dan cocok buat mereka.
Di Tanahabang, saya sering melihat mereka mandi di kali pagi-pagi sekali. Kaum pria membuka pakaian lalu mencebur dan menyelam di kali. Ketika mereka naik, tubuhnya yang coklat tampak seperti patung-patung perunggu. Kaum wanita turun ke kali dengan cara lebih tenang. Mereka memakai kain basahan. Ibu-ibu muda membimbing anak-anak mereka ke tempat yang dangkal.
Anak laki-laki dan perempuan berenang sambil main ciprat-cipratan dengan berisik. Sementara itu gadis-gadis remaja bercanda di tempat yang teraling tanaman air sambil saling mengguyur dengan gayung dari daun kelapa. Rambutnya yang hitam panjang itu berkilat-kilat dan kain basahannya rapat menempel ke tubuh.
Kadang-kadang lewat rakit. Penumpangnya sedang sarapan di bawah atap. Penumpang rakit saling menyapa dengan orang-orang yang mandi. Kadang-kadang mereka ikut bercanda juga.
Selesai mandi para wanita beriring-iringan naik dan pergi ke tukang bunga. Orang-orang di Jawa senang bunga: melati putih, mawar merah, cempaka kuning, pacar air.
Walaupun tanaman bunga mudah tumbuh di sini, tapi di Batavia saya belum pernah melihat mereka bertanam bunga dekat gubuknya. Paling-paling kembang sepatu di pagar. Mereka juga tidak terbiasa menaruh bunga dalam jembangan. Bunga adalah untuk dipakai di rambut mereka yang panjang, yang dikeramas dengan abu jerami padi dan dibilas dengan air bunga sebelum diberi minyak akar wangi.
Bunga juga ditaburkan di antara pakaian mereka. Motif bunga-bungaan menghiasi pakaian mereka dan ragam hias mereka. Anak-anak meronce bunga tanjung untuk dipakai sebagai kalung. Bunga juga dipakai untuk sesajen.
Makannya sepersepuluh orang Belanda
Di Tanahabang dan Koningsplein, di bagian yang dihuni oleh pribumi, ada warung-warung penjual makanan. Tapi lebih banyak lagi warung-warung yang lebih kecil dan portable. Ada yang mangkal di pinggir kali, sepanjang kanal, di pojok-pojok jalan, di stasiun, di pangkalan sado.
Mereka datang memikul warung berjalannya itu pagi-pagi sekali. Lalu dagangannya yang aneka warna dan piring-gelas-botolnya diatur supaya menarik. Mereka menurunkan anglonya dan mulai beroperasi.
Ada yang menjual nasi dengan ikan asin dan sambel, kue hijau yang diberi parutan kelapa berwarna putih, pelbagai macam kue manis berwana-warni mencolok yang disajikan di daun pisang segar yang hijau.
Penduduk Jawa sedikit sekali makannya dan tidak mewah. Sebungkus nasi dengan ikan asin dan sambal cukup untuk sehari. Orang Eropa akan menginsafi betapa rakusnya mereka kalau melihat orang Jawa makan. Bayangkan, cuma sepersepuluh dari yang kita lahap. Padahal mereka mesti berjalan kaki sepanjang hari dan memikul beban yang berat.
Tampaknya, mereka penggemar makanan manis. Sambil duduk di dingklik, mereka makan dengan nikmat kue-kue berwarna kuning, putih, merah jambu, dan minum sirup. Anak-anak juga boleh makan.
Anak-anak tidak dipercaya untuk makan sendiri, tapi disuapi. Anak yang masih kecil sekali direbahkan di paha, lalu mulutnya dijejali dengan nasi yang dihaluskan bersama pisang. Mau tidak mau, menangis atau tidak, makanan itu mesti ditelan. Kalau si ibu merasa anaknya sudah cukup makan, barulah penjejalan dihentikan.
Lalu si anak boleh bangkit. Ibunya menyeka air matanya dan mendekapnya. Si anak pun digoyang-goyang sampai tertidur.
Ayam aduan harus dipijat
Sesudah sarapan, penduduk pribumi mulai bekerja. Di kota-kota mereka tidak bisa bertani. Sementara itu pertukangan dan perdagangan kebanyakan berada di tangan orang-orang Tionghoa. Jadi, selain bekerja seperti yang tadi diceritakan, banyak juga di antara mereka yang menjadi pembantu rumah tangga di rumah-rumah orang Eropa.
Menjelang pukul empat, mereka kembali mandi di kali. Lalu mereka merokok atau mengunyah sirih sambil mengobrol. Saat musim kemarau mereka bermain layang-layang di lapangan-lapangan dan taman-taman di Batavia. Layangan mereka ada yang bersayap seperti burung, ada yang seperti naga, ada juga yang bisa berbunyi. Ada yang disebut "sawangan", "palembang", "kuncir", dsb.
Ada juga layangan aduan. Layangan berbentuk trapesium dari bambu dan kertas tipis itu digambari tokoh-tokoh wayang. Benangnya diberi gelasan, yaitu tumbukan beling yang dicampur dengan perekat.
Mereka juga mengadu ayam atau jangkrik, tapi secara diam-diam karena dilarang oleh pemerintah. Dalam semua permainan itu, betapa pun juga serunya, mereka tidak berteriak-teriak seperti orang Barat yang "barbar". Mereka menjaga perasaannya dan menekan rasa irinya terhadap lawan.
Ayam aduan dipelihara dengan seksama. Hewan itu diberi nasi, air, daging cincang, dan jamu! Takarannya sangat cermat. Secara berkala binatang itu dimandikan, dikeramasi, dijemur, dipijat leher, sayap, dan pahanya supaya kuat dan luwes.
Penduduk pribumi juga senang menonton wayang: wayang orang, wayang kulit. Musik pengiringnya gamelan dan ceritanya diambil dari Mahabharata dan Ramayana.
Masih banyak buaya
Saya mendengar pelbagai dongeng: dongeng Nyai Loro Kidul, dongeng Kyai Belorong, dan macam-macam lagi. Namun, rasanya buaya-buaya yang hidup di rawa-rawa muara Kali Betawi lebih ditakuti daripada Kyai Belorong. Kadang-kadang reptil itu kelihatan berjemur dengan mulut mengangga. Mereka menunggu bangkai binatang yang dihanyutkan air. Ada kalanya mereka juga menyambar manusia yang sedang mandi.
Karena dianggap berbahaya, beberapa tahun sebelumnya pemerintah menjanjikan hadiah bagi orang yang bisa menangkap buaya. Lalu berdatanganlah penduduk yang memikul bangkai-bangkai anak buaya dengan bambu. Walaupun bukan buaya dewasa, pembawanya mendapat hadiah juga.
Kemudian baru ketahuan bahwa penduduk bukan menangkap buaya, melainkan mengambil telurnya untuk ditetaskan. Setelah dipelihara beberapa lama, anak buaya ini dibawa kepada sekaut (polisi). Sejak itu hadiah dihentikan dan buaya-buaya dibiarkan berkembang biak di pantai utara Pulau Jawa.
Sesekali ada juga pemburu yang sok mau berburu buaya. Mereka mengintai berlama-lama di rawa-rawa. Yang mereka peroleh bukan binatang buruan, melainkan demam. Demamnya berbahaya lagi!
Jawa bagi saya, seperti bagi banyak orang, memang harus selalu merupakan negeri dalam mimpi, Negeri Dongeng, dan rumah yang bahagia bagi penduduknya. (HI)
Intisari
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Jakarta di Awal Abad 20"
Post a Comment