Jamuan Privat ala Good for Eats



Ada tren kuliner baru di Jakarta. Jika biasanya kita perlu datang ke restoran berbintang untuk makan masakan kelas premium, kini kita bisa menikmatinya di sofa kesayangan bersama anggota keluarga yang lain. Tidak hanya itu, kita bisa melihat kelihaian chef memasak makanan langsung di dapur Anda.

Private dining merupakan konsep yang tergolong baru di Indonesia. Konsepnya seperti katering yang membuatkan makanan untuk pemesan. Bedanya, chef memasak langsung di dapur milik pemesan. Biasanya lebih ke acara privat, maka itu disebut private dining.

Karena event yang terbatas itu, para tamu dapat menikmati suguhan hidangan sembari berinteraksi dengan lebih leluasa. Mereka bisa menikmati waktu mereka bersama dengan keluarga lebih sering. Selain itu, mereka juga bisa langsung berinteraksi dengan sang chef lebih intim.

Salah satu merek kuliner pengusung konsep private dining ini adalah Good for Eats, atau G48. Nyawa dari G48 ini adalah duo chef Fernando Sindu (31) dan Ivan Wibowo (26). Awalnya dua sahabat ini tidak pernah membayangkan akan bekerja bareng, walaupun mereka sudah menjadi teman ketika sekolah di Institute of America, di Hyde Park, New York.


Mulai dari nol

Proses kelahiran G48 sejak Juni 2012 terbilang unik, karena masing-masing sudah bekerja dan sudah lima tahun tidak bertemu. Fernando sudah menjadi sous chef di restoran ternama. Sedangkan Ivan bekerja di dapur laboratorium pengetesan makanan sebelum diproduksi massal. Keduanya bertempat di New York.

Sampai pada suatu hari di tahun 2012 Ivan pulang ke Jakarta. Saat itu ada seorang kawan yang membuat acara privat dan ingin Ivan yang menyiapkan hidangannya. Karena merasa tidak mampu mengerjakannya sendirian, Ivan mencari rekan kerja. Satu nama yang diingatnya adalah Fernando. Kebetulan Fernando sedang berada di Jakarta karena mengurusi visa kerjanya yang tidak diperpanjang oleh Pemerintah Amerika.

Jadilah duo chef ini menunjukkan kemampuannya di depan sekitar 15 orang yang menghadiri event privat tersebut. “Setelah event, ternyata asyik juga kerja bareng!” seru Ivan. Begitu halnya dengan Fernando, “Dari event pertama yang kami tangani itu, mulai terasa menarik. Akhirnya kami mulai berkonsentrasi di private dining.” Menurut Fernando, satu hal yang membuatnya tertarik adalah karena kesempatan besar untuk bereksplorasi.

Diakui Ivan dan Fernando, awal G48 berjalan bak menunggu untuk tumbang. “Klien masih mulut ke mulut, karena kita benar-benar mulai dari nol, tidak punya kenalan siapa-siapa di Jakarta,” Namun lama-kelamaan, mulai banyak yang tertarik dengan konsep private dining ini. Klien awal terutama datang dari tamu yang pernah hadir di acara serupa. “Sekarang sudah lumayan banyak; Sudah mulai bergulir orderan,” cetus Ivan sumringah.

“Kita mencoba mengenalkan sebuah konsep baru di dunia kuliner, bahwa tidak hanya mengenai cara mempresentasikan makanan, tapi juga mengapresiasi makanan itu sendiri,” lanjut Fernando. Konsep private dining tak pelak memberikan pintu lebar bagi pencapaian misi itu. Saat berinteraksi, chef bisa sembari bercerita tidak hanya spesifik makanannya saja, tapi lebih menyeluruh; “Ada cerita di balik makanan itu, bahan yang dipakai, juga ide yang mengikuti makanan tersebut,” terang Fernando.


Salah satu tren terbaru dalam dunia kuliner adalah private dining. Di sini, bukan Anda yang datang ke restoran, tapi chef yang akan datang ke tempat Anda untuk memasak langsung di kediaman Anda. Hidangan premium ala Eropa akan tersaji dengan keintiman yang berbeda.

Salah satu yang mengusung itu adalah Good for Eats (G48), besutan Chef Fernando Sindu dan Chef Ivan Wibowo. Konsep hidangan yang disodorkan Ivan Wibowo dan Fernando Sindu yang bernuansa masakan Barat tentu memberikan tantangan tersendiri ketika disajikan di Indonesia, terutama masalah ketersediaan bahan baku.

Sesungguhnya, seperti diungkapkan Ivan, makanan Barat adalah makanan yang simpel, namun dengan bahan yang terbaik.

Dari yang simpel itu, bahan mentahnya sudah bagus, jadi makanan yang dibuat menghasilkan citarasa sempurna. “Contohnya ikan. Hanya dengan bumbu garam dan merica kemudian dipanggang, diberi saus Bernaise atau Hollandaise, sudah enak sekali,” kata Ivan.

Indonesia beriklim tropis cenderung panas, penanganan ikan yang kurang baik akan menghilangkan citarasa ikan. Ikan impor juga sudah lama dalam keadaan beku sehingga tidak akan sesegar jika dimasak di negara asalnya.

Menurut Fernando, sebenarnya bahan lokal itu cukup bagus, yang menjadi masalah adalah cara memperlakukan bahan tersebut. “Mungkin ditanam dan dipanen dengan bagus, tapi ketika sampai ke konsumen sudah tidak begitu bagus, mungkin karena penanganan pengiriman yang tidak tepat,” kata Fernando.

Selain itu, harga bahan impor yang mahal tak urung membuat Ivan dan Fernando harus cermat menghitung anggaran untuk menunya.

Seperti misalnya, celeriac. Bahan makanan umbi ini bisa seharga Rp250.000 per buahnya. Sedangkan di Inggris, satu poundsterling (sekitar Rp15.000) bisa dapat tiga biji.

“Kalau mau memakai bahan yang mahal seperti itu, jadi mikir dua kali, harga untuk makanan jadi berapa? Itu kendala yang sering muncul. Kualitas juga biasanya sudah menurun, karena kesegarannya sudah berkurang selama shipping ke Indonesia,” papar Ivan.



Selain atraksi keahlian memasak yang bisa disimak langsung oleh tamu undangan, cerita tentang hidangan yang sedang disiapkan juga menjadi pemikat spesial private dining. Seperti ketika Fernando mengisahkan tentang hidangan yang sedang dia siapkan. “Ini adalah makanan Meksiko, huevos rancheros. Di Amerika, makanan seperti ini dimakan pada pagi hari setelah mengonsumsi minuman keras malam sebelumnya. Makanya namanya Hangover Cure, karena makanan ini bisa menguras semua alkohol yang baru dikonsumsi,” papar Fernando.

Selain hasil studinya di bidang kuliner, pengetahuan duo chef mengenai makanan ini karena latar belakang dua chef yang berbeda. Ivan mendalami makanan Jepang modern, sedangkan Fernando paling fasih dengan makanan Spanyol dan Mediteranian.

Bukan hanya kuliner luar negeri, khazanah kuliner Nusantara juga tak luput dipelajari mereka. Ivan yang berasal dari Semarang tak jarang memasukkan dasar-dasar masakan khas Jawa dalam kreasinya. “Fernando kenal juga makanan khas Palembang dan Bandung,” sahut Ivan menceritakan sahabatnya.

Mereka mengaku sering coba-coba mengombinasikan jenis makanan tersebut menjadi suatu masakan baru. Bayangkan masakan Barat dengan bumbu kluwak! Hal macam itu yang tangah dieksplorasi oleh dua chef ini. “Kita sudah memulai, misalnya sebagai preamble (pembukaan) desert, kita menggunakan mangga dan pandan,” kata Ivan.

Diakui Ivan proyek tersebut belum dipublikasikan, baru riset dan pengembangan. “Ke depannya, ada keinginan untuk mengembangkan juga makanan asli Indonesia dengan presentasi baru,” Ivan menjelaskan.

Seni bertemu sains

Ivan dan Fernando bisa dibilang berhasil memberikan sensasi baru makan. “Kami memang kerap memberikan theatrical effect; bukan hanya mendapatkan rasa, tapi ada kejutannya,” kata Ivan. Seperti yang diungkap Fernando, mereka kerap memasukkan konsep gastronomi dalam masakan mereka. Bukan hanya efek kejutan, namun sesekali mereka menyisipkan pembuktian bahwa kuliner bukan hanya masalah profit komersial saja, namun lebih dari itu, sebuah seni.

Satu contoh menarik adalah Ravioli transparan besutan dua sohib ini. Kulit Ravioli pada umumnya tidak terlihat bagian dalamnya. Dituturkan Ivan, restoran bisa bilang itu lobster ravioli. Akan tetapi pengunjung restoran tidak pernah tahu bahwa bagian dalamnya benar-benar lobster, siapa tahu dicampur bahan lain, misalnya udang, untuk mendapatkan profit yang lebih besar. “Ide kami berangkat dari situ. Ravioli ini dibuat transparan supaya orang bisa lihat bagian dalamnya; kalau kita bilang itu lobster, itu benar-benar lobster, bukan dicampur udang,” tutur Ivan.

Ada lagi sashimi yang dipresentasikan lain dari biasanya. Biasanya shasimi berupa potongan tipis ikan segar yang disajikan bersama soy sauce, nasi, dan sup miso dalam mangkuk terpisah, serta lobak dan daun perilla sebagai garnish-nya. “Sashimi-nya kami buat seperti biasa, yaitu potongan tipis ikan segar, namun soy sauce dan lemon kami bentuk seperti lapisan film di atas ikan tersebut,” Ivan menjelaskan.

Untuk melengkapi, juga ditambahkan nori (rumput laut kering) yang dibentuk seperti kerupuk. Wasabi yang biasanya berbentuk pasta dibuat seperti salju. “Tidak kenceng, begitu dimakan hilang di mulut. Ini adalah akan sashimi gaya baru,” papar Ivan.

Bukan hanya jago mengutak-atik molekul makanan, mereka juga piawai dalam teknik memasak. Salah satu teknik modern yang diaplikasikan Ivan dan Fernando ketika memasak daging adalah teknik sous vide. Daging dimasak dalam keadaan vakum dengan suhu yang konstan selama 40-45 menit. “Tujuannya untuk membuat daging matang secara merata. Ketika dipotong, daging masih juicy,” kata Ivan.

Walaupun G48 selalu menyodorkan beberapa menu, namun ide private dining itu lebih costumize. Pelanggan bisa memesan atau mengembangkan menu sesuai selera sendiri, termasuk jika ada alergi makanan tertentu. Itu juga yang membedakan private dining ini dengan katering pada umumnya. “Kalau ada klien yang sudah pernah bekerja sama dengan kita, pasti kita buatkan menu yang berbeda dari sebelumnya, kecuali mereka memesan makanan yang sama dari sebelumnya,” terang Ivan. Konsep “pembeli adalah raja” sepertinya digambarkan secara harfiah oleh mereka berdua.

Untuk acara private dining, Fernando menjelaskan, G48 melayani minimal delapan orang, kalau di rumah biasanya sampai 15-17 orang. “Tapi kita juga harus lihat dapur mereka. Kalau dapurnya tidak memenuhi syarat kami, kita terpaksa tidak bisa menerima tawaran itu,” papar Fernando.

Bagi pasangan yang mau candlelight dinner, G48 juga bisa membantu suasana romantis dengan menyiapkan hidangan bagi pasangan tersebut. Untuk sementara, bagi yang ingin membuat pesta kecil seperti itu, Ivan dan Fernando bisa mengeset private dining di “rumah” mereka di bilangan Kemang, tepatnya di Kemang Village Apartement Ritz Tower.

Ternyata, G48 tidak hanya melayani acara privat di rumah dengan jumlah tamu terbatas, tapi juga kadang mengisi acara komersial, seperti launching produk sebuah perusahaan, namun tetap dibesut dengan konsep private dining. Juga tidak menutup kemungkinan menerima panggilan jauh, misalnya luar Jakarta atau bahkan luar Jawa. “Biasanya tergantung seberapa besar event yang diselenggarakan, apakah bujet sesuai atau tidak,” Ivan menjelaskan.

Biaya private dining yang diusung Ivan dan Fernando dihitung per orang, mulai dari Rp750 ribu per orang. Harga itu tergantung permintaan dan bahan mentah yang digunakan. Serupa katering, peralatan memasak dibawa sendiri.


Substitusi bahan baku

Tentu saja, usaha yang digeluti Ivan dan Fernando ini tidak luput dari hambatan. Tantangan terbesar yang dihadapi mereka berdua adalah ketersediaan dan kualitas bahan. Bahan impor seperti sea spinach, lemon, asparagus, kadang tidak tersedia. Atau ketika tersedia kualitasnya tidak menentu, kadang baik kadang buruk. Kalau sudah telanjur propose ke pelanggan tapi ternyata bahan tidak tersedia, mereka harus cari cara untuk mengganti bahan-bahan tersebut dengan bahan lain, tanpa mengubah citarasa masakan aslinya.

Ketersediaan bahan mentah di Indonesia yang tidak menentu juga membuat chef ini harus pintar-pintar melakukan inovasi. Salah satunya adalah dengan membuat teknik-teknik baru sehingga hal itu tidak menjadi hambatan, tapi justru bisa mengembangkan makanan yang dibuat.

Satu hal menarik yang dilakukan Ivan dan Fernando setelah acara adalah meminta tanggapan dari para penikmat masakan mereka, termasuk kritikan dan masukan. Hal itu perlu dilakukan karena mereka menyadari masih butuh banyak pengembangan atas kreasi dan masakan yang mereka ciptakan.

Bagi mereka G48 adalah cara jitu menjajaki keinginan pasar Indonesia terhadap dunia kuliner. “Tujuannya, kami bisa punya restoran,” Fernando mengungkapkan. “Kita sudah banyak masuk ke rumah orang, tapi kita sendiri enggak punya rumah. Kita pengen punya restoran yang jadi rumah kita,” Ivan menimpali.

Intisari

0 Response to "Jamuan Privat ala Good for Eats"

Post a Comment