Mimpi Buruk Seorang Algojo

Profesi algojo ternyata cuma pekerjaan sampingan. Di Inggris algojo mempunyai pekerjaan tetap lain: ada pemilik pub, buruh tambang, bahkan penjual es krim! Berikut ini pengalaman Syd Dernley yang pernah ikut menggantung lebih dari dua puluh orang, yang dituangkannya dalam buku The Hangmans's Tale bersama David Newman.

Saya merasa terguncang, mual, dan lemas, ketika pertama kali menyaksikan orang digantung. Saat itu sebagai asisten algojo saya menghadiri eksekusi atas James Farrell, yang memperkosa gadis berumur 14 tahun, mencekik, lalu membuang mayat korban ke semak-semak.

Farrel masih muda belia. Baru tiga hari sebelumnya ia berulang tahun kesembilan belas di selnya.

Mengantongi "saputangan"

Eksekusi dijalankan pukul 09.00. Dua menit sebelumnya, bersama seorang rekan calon algojo, yaitu Harry Allen, saya berada di luar pintu kamar eksekusi. Beberapa meter dari kami, di muka pintu sel, berdiri algojo Albert Pierrepoint dan asistennya. Harry Kirk. Begitu mereka menghilang ke dalam sel, kami pun masuk ke kamar eksekusi.

Kamar itu kecil, kira-kira 3 m2. Dindingnya dicat putih. Berhadapan dengan pintu ada sebuah jendela di ketinggian. Jendela itu bukan cuma diberi terali, tetapi juga ditutupi dengan kawat.

Lantai kayu didominasi sebuah pintu jebakan, yaitu pintu yang membuka ke bawah. Di atasnya ada sepasang balok. Tingginya kira-kira 3 m dari lantai. Seutas tali yang ujungnya seperti kalung menjuntai ke bawah, setinggi kepala.

Harry dan saya berdiri merapat ke dinding. Kami lihat kepalavpenjara, under-sherrif, dan para pejabat penjara sudah ada divsana. Beberapa di antaranya berwajahvmuram. Semua memandang ke pintu kuning berdaun dua, pintu yang menyambung ke sel tempat terhukum.

Baru beberapa detik saya berada di sana, pintu kuning terpentang. Muncullah Pierrepoint seorang pemuda bertubuh kecil, memakai setelan rapi berwarna biru. Dari saku jas pemuda itu menonjol secarik kain yang dari jauh mirip saputangan, tetapi sebenarnya sarung kepala yang akan dikenakannya.

Tangan Farrell terikat ke belakang, sementara matanya tampak sangat ketakutan.

Kirk berjalan di belakang Farrell, tanpa harus mendorongnya. Tanpa ragu-ragu Pierrepoint menuju pintu jebakan. Ditengah pintu itu berhenti, terbalik menghadapi Farrell dan menaruh tangannya di pundak pemuda itu. Dalam waktu sekejap saja, kain penutup kepala sudah diselubungkannya ke kepala Farrell. Dengan gesit pula Pierrepoint mengalungkan tali gantungan, lalu membungkuk untuk menepuk Kirk yang baru slesei mengikat pergelangan kaki Farrell. Mereka berdua menyingkir dari pintu jebakan. Segera pintu itu menjeblak ke bawah. Farrell merosot berbarengan dengan bunyi nyaring daun pintu jebakan memukul diding lubang. Mungkin semua narapidana dipenjara itu ikut mendengarnya.

Beberapa saat kemudian keadaan sunyi senyap. Seorang pejabat memecah keheningan dengan berkata, “Delapan detik. Sudah selesai.”

Delapan detik! Betapa cepatnya. Padahal ini dihitung mulai dari saat Farrell di jemput dari selnya sampai ia tergantung dalam keadaan tidak bernyawa lagi di ujung tali.

Gara-gara buku kriminal

Keinginan saya untuk menjadi petugas penggantung orang timbul pada usia sebelas tahun, ketika saya membaca buku Edgar Wallace.

Wallace pernah beberapa kali melihat orang digantung, karena pada awal abad XX ini wartawan masih boleh menyaksikan kejadian tersebut. Ia mempergunakan pengalamannya untuk bahan cerita kriminal yang mencekam. Saya begitu terkesan membacanya, sehingga memutuskan akan menjadi algojo. Padahal tak ada nenek moyang saya yang berprofesi demikian.

Sebagai anak petani, pekerjaan pertama yang saya peroleh hanyalah sebagai tukang las di pertambangan batu bara di Nottinghamshire.

Seusai PD II saya bosan menjadi tukang las. Saya pun menulis surat pada Koran News of the World, menyatakan keinginan saya untuk menjadi algojo. Saya bertanya ke mana mesti melamar. Pengasuh ruang surat pembaca keheranan. "Kami tidak mengerti mengapa Anda ingin melamar pekerjaan itu, sebab tidak lama lagi algojo tidak dibutuhkan." Soalnya, waktu itu di parlemen sedang terjadi debat-debat perkara penghapusan hukuman mati. Namun, saya diberinya juga sebuah alamat.

Ternyata lamaran saya ditolak, karena jumlah algojo sudah cukup.

Dua tahun kemudian tahu-tahu saya dipanggil ke Penjara Lincoln, untuk menghadap Brigadir E.R. Patol-Walsh.

Saya harus melewati beberapa lapis pintu angker. Brigadir tampaknya tidak tertarik kepada saya. Wajahnya baru menunjukkan minat ketika ia tahu saya senang menembak.

"Di mana?" tanyanya.

"Di tanah milik Duke of Welbeck," jawab saya.

"Dengan Duke?"

"Tidak. Kalau Duke sedang tidur."

Ia tertawa terbahak-bahak. "Dok," panggilnya kepada dokter penjara. "Ini ada penembak liar ingin menjadi algojo."

Ternyata setelah itu suasana tidak sekaku tadi. Saya ditanyai apakah saya cekatan. Kebetulan memang demikian. Saya diberi tahu bahwa seorang algojo adalah hamba hukum yang tidak boleh membawa-bawa perasaan dalam melakukan tugas eksekusi. Setelah itu saya boleh pulang.

Enam minggu kemudian saya dinyatakan lulus wawancara dan terpilih mengikuti pendidikan menjadi asisten algojo di Penjara Pentonville. Istri saya, Joyce, tidak keberatan.

Efisien, bersih, cepat

Tiga minggu sebelum merayakan ulang tahun ke-28, saya berada di kantor kepala Penjara Pentonville bersama tiga orang lain. Mereka itu George Dickinson (seorang ahli matematika yang bekerja di sebuah perusahaan kimia yang besar di Manchester), William Pollard (karyawan Woolwich Arsenal di London, dan Harry Allen, seorang penjual es krim dari Birmingham. Kata Harry, ia sudah melamar delapan belas kali!

Kepala penjara memperkenalkan kami pada Pak Hughes, seorang sipir yang sudah lanjut usia, yang akan menjadi instruktur kami.

Tapi sebelum mulai belajar, kami diberi tahu bahwa kami harus mematuhi Official Secret Act, undang-undang yang melarang kami menceritakan ataupun menulis mengenai hal-hal yang kami lihat atau pelajari.

Setelah itu kami membuntuti Pak Hughes ke sebuah ruangan yang isinya cuma sebuah ranjang di bawah jendela, sebuah meja, dan beberapa kursi. Jendela itu bukan cuma diberi terali, tetapi juga diberi kawat.

"Ini bakal menjadi kelas kita seminggu ini. Sebenarnya kamar ini sel untuk narapidana yang akan menjalani hukuman mati," Hughes menjelaskan. Ngeri juga kami.

Di sebelah kiri ada pintu yang menuju ke kamar mandi. Di sebelahnya ada kamar terpidana mati lain. Di sebelah kanan ada pintu kuning berdaun dua. Hughes membuka pintu itu. Di luarnya ada lorong yang menuju ke pintu kuning lain. Pintu kedua ini dibuka juga dan tibalah kami di tempat penggantungan. Jarak dari ranjang terpidana sampai ke kamar penggantungan cuma sepuluh langkah!

Ruang penggantungan itu identik dengan sel terpidana mati, cuma saja memiliki dua palang besar dekat langit-langit. Alat untuk membuka pintu jebakan di lantai bentuknya seperti kotak sinyal kereta api!

Kata Hughes, ruanganruangan yang kami lihat itu sama saja di semua penjara Inggris yang memiliki fasilitas untuk melaksanakan hukuman gantung.

Di sebuah sudut kamar eksekusi itu ada pintu jebakan lain, tetapi kecil. Hughes membuka pintu jebakan itu dan di bawahnya kami lihat tangga untuk turun ke ruang bawah yang besarnya sama seperti kamar eksekusi.

Langit-langit ruangan bawah itu tinggi. Di tiap dindingnya ada alat untuk menahan pukulan pintu. Alat ini juga mencegah pintu berbalik memukul orang yang digantung.

Kamar ini memiliki dua pintu. Yang sebuah menembus ke luar dinding penjara, untuk membawa may at ke tempat pemakaman. Yang sebuah lagi menembus ke ruang autopsi. Di ruang ini ada sebuah meja besar berlapis logam. Sekeliling meja itu ada selokan. Di sana juga ada tempat cuci tangan dan lemari. Para ahli patologi harus memeriksa jenazah terpidana mati di sini. Tempat itu mengerikan bagi saya.

Dari sana kami kembali ke ruang semula, untuk menerima pelajaran pertama dari Hughes.

"Hukuman mati dengan cara digantung itu efisien, bersih, dan terutama sangat cepat," katanya. "Seperti kalian lihat, jarak antara kamar tahanan dan tempat penggantungan demikian dekatnya. Begitu pintu jebakan terbuka, terpidana mati segera meninggal, sebab tulang lehernya patah. Para petugas penggantungan sama sekali tidak boleh melakukan kesalahan. Camkanlah hal ini."

Beda orang gemuk dengan orang kurus

Hughes menjelaskan tugas penggantung dan asistennya. Semua harus bekerja dengan cekatan dan cepat. Kalau penggantung menepuk pundak asistennya yang bertugas mengikat kaki terpidana mati, sang asisten harus sudah siap menyingkir dari daerah pintu jebakan. Kalau ia kurang gesit dan jebakan keburu menjeblak, akibatnya bisa runyam. Hari itu sudah gelap ketika kami dibubarkan.

Keesokan harinya kami datang lagi ke ruang kelas kami. Kini di situ ada dua buah kotak kayu berwarna hitam. Yang sebuah ukurannya kira-kira 60 x 100 cm. Sebuah lagi lebih kecil. Keduanya dikunci dengan gembok besar. Kotak yang satu berisi rantai baja dan katrol. Kotak yang lain berisi tambang, selubung kepala dari linen, kawat, benang dan sepotong kapur. Masingmasing terdiri atas dua perangkat.

Kata Hughes, peralatan ini biasanya disimpan di Penjara Wandsworth di London. Begitu ada penjara di Inggris yang menerima terpidana mati, kotak-kotak itu dikirim dengan kereta api penumpang biasa, tapi kuncinya dikirim dengan pos tercatat kepada kepala penjara bersangkutan.

Tali gantungan bisa dipakai berulang-ulang. Bahannya rami Italia yang paling bagus. Tiap ujungnya dipasangi logam berlubang. Ke lubang satu dimasukkan ujung yang lain supaya membentuk kalung. Ujung yang tidak berkalung dikaitkan ke rantai yang menggantung di palang.

Bagian tali yang membentuk kalung dilapisi dengan kulit supaya cedera pada bagian luar leher orang yang digantung bisa minimal. Kalung itu harus berada sebatas kepala, supaya mudah dan cepat dikalungkan.

Saya heran sekali karena tali harus dikaitkan pada rantai segala. Mengapa tidak diikat langsung saja ke palang?

Ternyata ada alasannya. Orang gemuk akan patah lehernya setelah merosot sedikit saja, sebab badannya besar. Tapi orang kurus perlu diberi kesempatan merosot lebih jauh. Rantai di palang itu berguna untuk mengatur panjang-pendeknya jarak jatuh.

Jenazah tak boleh berayun

Hughes meminta Dickinson naik tangga untuk memasang tali di rantai, lalu Pollard disuruh berdiri di tengah pintu jebakan. "Masukkan tangan di saku," perintahnya pada Pollard. Begitu hal itu dilaksanakan, secepat kilat kepala Pollard diselubunginya dengan kain dan tahu-tahu tali gantungan sudah terkalung erat di leher rekan kami itu. Kami tertawa terbahak-bahak, sementara Pollard menyumpah-nyumpah dari balik penutup kepalanya.

"Tenang, tenang," kata Hughes pada Pollard. "Eh, yang lain jangan tertawa-tawa dulu, sebab kalian semua akan mendapat giliran."

Hughes meminta perhatian kami, agar meletakkan logamberlubang pada kalung leber itu di bawah dagu kami. Kalung mesti erat, tetapi tidak boleh sampai mencekik. Kalau posisi kalung sudah tepat, maka gelang karet pada tali diturunkan, sehingga posisi kalung tidak berubah-ubah lagi.

"Buat apa sih pakai selubung kepala segala?" tanya Pollard.

Konon selubung mencegah orang yang akan digantung menyaksikan detik-detik terakhir. Bayangkan, bagaimana rasanya bila ia melihat algojomelepaskanpengungkilpintu jebakan. Mungkin saja ia semaput atau melompat. Kalau hal itu terjadi, posisi kalung leher bisa berubah dan kematian tidak berlangsung cepat dan mulus.

Pagi itu kami pakai untuk mempelajari teknik mengikat pergelangan tangan dan pergelangan kaki teman. Hughes menjelaskan bahwa ikatan dimaksudkan untuk mencegah orang yang akan digantung itu kabur, tetapi sama sekali tidak boleh menyakitkan atau membuat panik.

Teknik mengikat tangan dan kaki itu ternyata bukan cuma dua jam itu saja kami pelajari, tetapi juga pada hari-hari berikutnya. Makin lama kami makin terampil dan makin cepat mengerjakannya. Hughes selalu mengingatkan, "Kalian harus cepat! Kalian harus cepat! Ayo, lebih cepat! Bagus, lakukan lagi!"

Kedengarannya sih gampang mengikat tangan dan kaki. Apalagi yang diikat teman sendiri, jadi tidak banyak cingcong. Dalam kenyataannya tidaklah demikian.

Siang hari itu Harry disuruh mengukur lebar pintu jebakan. Ternyata 7 kaki 6 inci (± 229 cm). Tepat di tengahnya, Hughes mencoret huruf T dengan kapur. "Tepat di atas tergantung tali," katanya. Orang yang menjalani hukuman mati harus disuruh berdiri di titik ini. Ukuran ini tidak boleh dikira-kira, mesti betul-betul diukur dengan cermat. Meleset satu inci saja akan membuat orang yang digantung terayun-ayun seperti bandulan lonceng."

Latihan menggantung kantong pasir

Kami digiring kembali ke sel. "George, kau jadi terpidana mati," katanya kepada Dickinson. "Syd, kau jadi algojo. William menjadi asisten algojo dan kau Harry menjadi pendeta."

Kami pun mengambil posisi. George Dickinson duduk membelakangi pintu sel. Harry Allen berdiri di depannya. Ketika William Pollard dan saya masuk, Harry memberi berkat kepada George dengan senyum geli. William dan saya menepuk bahu George dan ia bangkit. Kami mengikat tangan George ke belakang. Kemudian saya mengawali iring-iringan memasuki ruang eksekusi. Saya menstop langkah George tepat di tanda kapur. Agak kikuk juga saya ketika menyelubungi kepalanya. Kemudian tali saya kalungkan ke lehernya. Sementara itu William mengalami kesulitan mengikat pergelangan kaki George.

"Tepuk pundak William!" teriak Hughes. Saya membungkuk untuk melaksanakan perintahnya. "Menyingkir dari pintu jebakan!" seru Hughes pula. Saya melompat sambil menyentuh tangkai pengungkil jebakan. Cuma saja pintu tidak menjeblak terbuka, karena pengungkilnya diganjal erat.

"Kalian mesti cepat!" komentar Hughes. Kini tiba giliran saya menjadi terpidana mati. Walaupun cuma latihan, ngeri juga menerima tepukan di pundak, bangun, ditelikung, dan digiring ke ruang eksekusi. Di situ menunggu tali gantungan yang makin lama makin dekat. Lalu saya berdiri di pintu jebakan. Algojo menstop dan tahu-tahu kepala saya sudah terselubung. Terasa seseorang mengikat pergelangan kaki dan tali pun mengalungi leher. Ada sesuatu menyentuh dagu, napas pun jadi sesak ....

Meskipun cuma sebentar, rasanya lama sekali. Karena itulah algojo dan asistennya harus bekerja cepat. Cepat tanpa keliru sedikit pun. Jadi, kami berlatih, berlatih, dan berlatih terus.

Pada hari ketiga, kami belajar menangani terpidana mati yang melawan ketika akan digiring ke ruang eksekusi. la mesti diringkus dengan bantuan petugas penjara.

Sehabis makan siang, kami praktik dengan mempergunakan dumi. Dumi yang diumpamakan sebagai korban itu tidak lain daripada kantong kanvas sepanjang 1 m. Kantong itu diisi dengan pasir dan beratnya antara 60 - 70 kg. Kepalanya dari kulit. Dumi itu biasanya dipakai untuk menguji tali gantungan sehari sebelumnya. Yang menguji segala peralatan haruslah algojo bersama asistennya.

Dumi itu ditaruh di tempat yang ditandai dengan coretan kapur, lalu lehernya dililit dengan handuk supaya agak tebal, sebelum dikalungi tali. Kemudian Hughes menunjukkan cara mencabut alat pengaman dan ganjalan pada pengungkil. Ketika semuanya sudah beres, pengungkil didorong dan terdengarlah suara berdebum yang sangat nyaring. Dumi merosot 2 m, lalu tergantung diam. Kepalanya terkulai ke satu arah.

Suasana hening sekali, ketika kami mengamatinya. Tali dan dumi diam, tak bergoyang sedikit pun.

Hughes bersuara, "Kalau kantong pasir itu manusia, kita akan membiarkannya sejam, sebelum diturunkan." Namun karena yang tergantung itu cuma dumi, kami segera mempergunakan katrol yang disangkutkan ke rantai untuk menurunkan kantong pasir dan mengembalikan posisi pintu jebakan. Tangkai pengungkil dikembalikan, diganjal, dan "dikunci".

Perlu matematika

Hari terakhir kami pakai untuk menghitung berapa jauh terpidana mati harus dijatuhkan supaya ia meninggal dengan cepat. Sebetulnya ada tabelnya, tetapi kami harus belajar menghitung sendiri dengan rumus tertentu.

Pria yang beratnya 70 kg, umpamanya, harus dijatuhkan hampir 2,5 m. Mula-mula tali gantungan diukur 13 inci (± 33 cm) dari ujungnya, tepatnya dari tengah logam yang berlubang. Titik itu diberi tanda dengan kapur, lalu dari tanda itu diukur panjang jarak jatuh yang diperlukan. Titik kedua ini diberi tanda lagi dengan kapur. Kini harus diketahui berapa tinggi orang yang akan digantung itu. Kalau tingginya 170 cm, rantai harus disesuaikan agar tanda kapur kedua jatuh pada ketinggian itu. Barulah tali diikatkan.

Berjam-jam lamanya kami latihan menghitung panjang jatuh pelbagai terpidana mati khayalan, yang tingginya berbedabeda. Matematika merupakan mata pelajaran yang saya kuasai dengan baik di sekolah, jadi hitung-menghitung begini bukan masalah. Apalagi bagi Dickinson yang ahli matematika. Pollard dan Harry sebaliknya, agak kerepotan.

Setelah itu kami mengulangi Jagi pelajaran dari semula: mengikat tangan dan kaki, mengantar ke pintu jebakan, mengalungkan tali, mendorong pengungkil pintu jebakan. Makin lama kami makin mahir dan rasa percaya diri pun makin besar.

Hari Jumat kami menjalani ujian tertulis. Pertanyaan pertamanya: "Berapa panjang jarak jatuh yang harus diberikan kepada seseorang yang beratnya 12,5 stone (± 79,5 kg)?"

Pertanyaan kedua bunyinya: "Jelaskan dengan kata-katamu sendiri tugas seorang algojo dan asisten algojo."

Susah juga menjawab pertanyaan kedua ini, tetapi untung saya teringat pada kata-kata kepala Penjara Lincoln, "Yang paling penting untuk diingat oleh algojo dan asistennya ialah mereka itu hamba-hamba hukum. Perasaan tidak boleh dibawa dalam menjalankan tugasnya."

Setelah kalimat-kalimat itu sih gampang, saya tinggal menjelaskan garis besar yang harus dilakukan oleh algojo dan asistennya. Saya akhiri jawaban itu dengan menyatakan bahwa algojo dan asistennya tidak boleh berada di bawah pengaruh alkohol pada saat menjalankan tugas. Ia juga harus bisa memegang rahasia dan tidak boleh menarik perhatian.

Ternyata William Pollard tidak lulus, sehingga kami tinggal bertiga menjalani ujian praktik dengan disaksikan juga oleh kepala penjara dan pembantunya yang memegang stopwatch.

Saya ditugaskan menjadi algojo, Harry menjadi asisten algojo, dan George menjadi orang yang digantung. Kami mulai dari sel tempat terpidana mati dikurung. George duduk di dalam, Harry dan saya berdiri di luar pintu, Kepala penjara memberi aba-aba, "Mulai!"

Kami masuk dengan gesit tapi tenang ke sel. George menoleh, lalu berdiri ketika kami menepuk pundaknya dengan perlahan. Kami menelikung tangannya, lalu saya berjalan diikuti George dan Harry ke kamar eksekusi, langsung ke tengah pintu jebakan yang sudah diberi tanda dengan kapur.

Begitu George berdiri di tempat yang ditentukan, saya menyelubungi kepalanya dan mengalungkan tali gantungan ke lehernya. Saya tidak usah menepuk bahu Harry yang mengikat pergelangan kaki George, karena ia sudah siap. Saya melompat sambil sekalian mengulurkan tangan ke pengungkil. Belum sampai saya menyentuh alat itu, kepala penjara sudah berteriak, "Berhenti!"

Saya menoleh dengan tercengang. Ternyata wajahnya pucat pasi. Rupanya ia begitu terbawa oleh suasana, sehingga mengira George benar-benar akan digantung. "Empat puluh lima detik!" seru pembantunya yang memegang stopwatch. Kami merasa puas, sebab 45 detik adalah kecepatan tertinggi yang pernah kami capai dalam latihan. Itulah akhir dari latihan kami.

Sejak saat itu saya tidak pernah bertemu atau mendengar tentang William Pollard. Karier Dickinson sebagai penggantung ternyata pendek saja. Saya dengar dari algojo Pierrepoint bahwa Dickinson tidak tahan. Setelah sekali membantu Pierrepoint mengeksekusi orang, jasanya tidak pernah diminta lagi, karena ia dianggap memble.

Harus pandai tutup mulut

Pada tanggal 18 Januari saya mendapat surat pemberitahuan bahwa saya lulus ujian. Saya harus menandatangani surat perjanjian resmi yang menyatakan saya tidak boleh memberi keterangan apa pun kepada siapa pun tentang eksekusi. Saya tidak boleh menulis buku ataupun artikel, tidak boleh memberi ceramah, ikut pameran maupun main film! Penandatanganan saya lakukan di hadapan inspektur polisi setempat.

Sebulan kemudian saya dikabari bahwa kini saya sudah resmi menjadi penggantung orang dan nama saya termasuk dalam daftar asisten algojo. Saya diperingati agar jangan berani-berani menulis surat untuk menawarkan jasa kepada sheriff ataupun under-sheriff. Kalau hal itu dilanggar, nama saya akan dicoret dari daftar. Pekerjaan menggantung orang harus ditunggu, bukan diminta. Sekali lagi saya diingatkan agar tutup mulut.

Sebulan kemudian saya diundang untuk menyaksikan eksekusi terhadap James Farrell seperti yang sudah saya ceritakan pada awal tulisan ini.

Saya kagum sekali pada Pierrepoint dan Kirk. Mereka tetap tenang. Malam itu kami menginap di penjara. Suasana sangat santai, apalagi Kirk pandai melucu. Pierrepoint sebagai "si nomor satu" sangat dihormati. Kalau ia berbicara, semua mendengarkan. Baik Pierrepoint maupun Kirk adalah pemilik pub.

Pierrepoint meminta kami tidur pukul 22.00 dan ketika kami bangun keesokan harinya, saya dapati Pierrepoint maupun Kirk bersikap serius, sungguh-sungguh, tidak melucu atau santai seperti kemarin. Pekerjaan algojo memang bukan main-main. Pierrepoint algojo yang paling termasyhur di Inggris. la dan Kirk pernah dikirim ke Eropa untuk membantu Sekutu menggantung para penjahat perang Nazi.

Pubnya di Manchester Road, Hollinwood, banyak dikunjungi orang yang ingin berkenalan dengannya. Namun, jangan coba-coba mengorek keterangan dari Pierrepoint.

Baru tanggal 23 September saya menerima tawaran untuk membantu mengeksekusi ... seorang wanita! Walaupun dalam surat itu tidak disebutkan namanya, saya tahu wanita mana yang dimaksud: Margaret Lughlan Williams, yang menikam suaminya sampai mati tiga bulan setelah mereka menikah.

Pierrepoint memberi nasihat: jangan pernah menolak tawaran, nanti tidak akan ditawari lagi. Jadi, buru-buru saya membalas, menyatakan bersedia menjalankan tugas sebagai asisten algojo. Namun hukuman mati atas Ny. Williams dibatalkan, sehingga saya harus menunggu kesempatan lain.

Pekerjaan sambilan

Saat itu saya masih bekerja sebagai tukang las di pertambangan. Bos saya tidak tahu bahwa saya asisten algojo. Karena kemudian saya sering harus ikut menggantung orang, saya terpaksa meminta izin untuk boleh memberi tahu bos. Soalnya, saya bisa dipecat kalau sering-sering minta cuti tanpa alasan yang jelas. Begitu tahu saya ini tukang gantung resmi, hati bos saya yang galak itu menciut. Saya boleh tetap bekerja di pertambangan.

Empat minggu setelah tawaran pertama, saya mendapat tawaran ikut menggantung seorang kuli tambang yang membunuh seorang gadis. Pada waktu yang bersamaan akan digantung pula seorang kuli pelabuhan yang membunuh istri orang.

Saya sebetulnya lebih senang mengasisteni Pierrepoint, karena saya kenal kepadanya dan ia tampak ahli betul dalam pekerjaannya. Namun, saya kebagian membantu algojo Steve Wade yang belum pernah saya lihat.

Tanggal 12 Desember, 24 jam sebelum eksekusi dijalankan, saya pergi ke Durham dengan hati waswas. Waktu itu sudah setahun saya lulus ujian algojo, tanpa pernah praktik. Di luar dugaan, ketika berganti kereta di Sheffield, saya bertemu dengan Harry Allen. la diminta membantu mengeksekusi kuli pelabuhan!

"Kau pernah kebagian pekerjaan?" tanya saya.

"Belum," jawabnya.

Pengalamannya sama seperti saya: diundang tetapi tidak jadi dipakai. Hati saya jadi besar lagi.

Di Penjara Durham barulah saya bertemu dengan Wade. Orangnya pendiam dan seperti kurang percaya diri. Ternyata Harry akan mengasisteni teman lama kami, Harry Kirk yang senang bercanda.

Algojo risau

Kami berempat diantar ke rumah sakit penjara yang akan menjadi tempat menginap kami, lalu kami dibawa "mengintip" terpidana mati yang keesokan harinya akan dieksekusi.

Di sel tempat terpidana, Wade mengintip. Kelihatan ia risau. Lalu giliran saya. Sel itu sama saja seperti sel tempat kamj latihan, tetapi di dalamnya ada terhukum yang oleh masyarakat dijuluki si Binatang karena kejamnya. Ia sedang main kartu dengan dua penjaganya, yang siang-malam tidak membiarkan ia sendirian. Si Binatang tampak normal saja dan masih muda sekali. Mengapa Wade risau? Setelah itu Wade mengintip ke lubang sebuah lagi. Rasanya lama sekali. Lalu tiba giliran Kirky.

Kami masuk ke kamar eksekusi. Wade menghitung-hitung panjang jatuh yang harus diberikan kepada kedua terpidana. Wade sebagai "si nomor satu" memeriksa segalanya dengan cermat sebanyak dua kali, sedangkan Kirky cuma mengawasi untuk memberi Harry dan saya kesempatan praktik. Karena dua eksekusi akan dilakukan berbarengan, tali gantungan tidak dipasang di tengah, tetapi dipisahkan oleh jarak 1 m.

Setelah dua kantong pasir dipasang di titik yang kelak akan ditempati oleh terpidana, Wade melakukan pemeriksaan terakhir dan meminta pengawal memanggil kepala penjara. Kepala penjara datang bersama under-sheriff dan seorang pejabat lain. Mereka mengambil tempat sekeliling pintu jebakan.

"Siap, Pak?" tanya Wade.

Kepala penjara mengangguk dan Wade melepaskan ganjal dan alat pengunci pengungkil. Pintu jebakan menganga dan dua kantong pasir terperosok ke dalamnya.

"Mulus?" tanya kepala penjara.

"Mulus," jawab Wade.

Kami keluar dan pintu kamar eksekusi dikunci. Kantong pasir dibiarkan tergantung untuk menyempatkan tali molor. Kemudian Wade minta pengawal meninggalkan kami sebentar di kamar kami. la menjelaskan bahwa si buruh tambang pernah mencoba bunuh diri, sehingga lehemya luka. Setelah sembuh, lehernya teleng. Inilah yang mengkhawatirkan Wade. la takut ada pengaruhnya pada penggantungan.

la mengatur agar orang itu dijemput lebih dulu, kemudian barulah Kirky dan Harry menjemput yang kedua.

Malam itu seperti biasa kami tidur pukul 22.00. Bagi saya waktu lewat lama sekali dan sangat menggelisahkan. Apalagi bagi terpidana.

Pukul 07.30 saya dibangunkan. Kami berdandan dan sarapan, sebelum pergi ke kamar eksekusi. Wade berpesan agar kami jangan berisik, sebab para terpidana ada di sel masing-masing.

Ternyata gang di muka pintu sel sudah ditutup dengan keset supaya langkah kami tidak terdengar. Lubang untuk mengintip pun sudah ditutup.

Kami membenahi kantong pasir dan pintu jebakan. Wade menyiapkan pengungkil dan mengukur kembali tali yang molor masing-masing setengah inci. Harry dan saya naik tangga untuk menyesuaikan rantai. Setelah Wade puas dengan tinggi kalung tali dsb., kami meninggalkan sel itu diam-diam.

Lima puluh lima menit menunggu di kamar kami merupakan saat yang paling menyiksa. Kami diam saja. Tidak ada yang bernafsu untuk berbicara. Suasana di seluruh penjara hening. Perut saya meronta-ronta karena senewen. Bagaimana kalau terpidana melawan? Apakah saya bisa cukup cekatan?

Anehnya, makin lama Wade tampaknya makin percaya diri. Padahal sipir saja pucat. Saya ingat kembali kata-kata Hughes, "Kalau kau masuk ke sel, perlihatkan wajah tegas tapi jangan brutal. Jangan membuat ia panik secara tidak perlu."

Lutut lemas

Pukul 08.55 pintu terbuka. Seorang sipir masuk. "Sudah saatnya," kata Wade sambil bangkit. "Kalian siap?" Saya mengangguk. Kirky memandang saya dan tersenyum. "Lakukanlah baik-baik, Nak," katanya.

Saya mengikuti Wade ke luar ruangan. Di depannya berjalan sipir, sedangkan Kirky dan Harry membuntuti saya. Dekat sel terpidana kami bertemu dengan rombongan kepala penjara, yang berjalan di belakang kami.

Tiba-tiba keheningan dipecahkan oleh suara orang bernyanyi dari dalam sel, suara yang serak dan gemetar. Saya hampir tidak percaya pada telinga saya. Setelah itu terdengar suara yang lebih mantap ikut menyanyi, "Biarlah aku terbang ke haribaan-Mu."

Diiringi suara nyanyian itu kami tiba di muka pintu sel. Selama 30 detik kami meninggu terpidana nomor dua bernyanyi bersama pendetanya. Di muka pintu no. 1 Wade berdiri bersama saya, Kirky dan Harry di muka pintu no. 2, kepala penjara dan rombongan di muka pintu kamar eksekusi.

Jarum jam berdetak mendekati pukul 09.00. Lalu kepala penjara mengangguk seraya memberi isyarat dengan tangan. Wade maju ke pintu, saya mengikuti di belakangnya. Sel tampak penuh, karena ada pendeta yang wajahnya pucat dan dua sipir.

Begitu saya masuk, saya lihat terpidana yang membelakangi kami bangkit. Wade menggamit tangan kirinya dan saya menggamit tangan kanannya. la tidak melawan. Semua berjalan dengan cepat sekali. Wade melangkahi ambang pintu kuning. Karena terpidana diam saja, saya menaruh tangan di pundaknya. Begitu didorong dengan lembut, ia segera mengikuti Wade. Sipir mengapitnya di kiri dan kanan. Di tengah pintu jebakan Wade menstopnya. Saya segera menarik pengikat dari saku, berjongkok dan mengikat pergelangan kakinya. Ketika saya siap, saya lihat Wade sudah selesai menyelubungi kepala dan memasang tali leher.

Saya menoleh ke sebelah kami. Kosong! Ke mana Kirky dan Harry? Ada kesulitan apa? Pasti tidak ada perkelahian, sebab tidak terdengar apa-apa. Kami menunggu tanpa bersuara. Rasanya lamaaaa sekali. Gantungan kembar mesti selesai dalam waktu 15 menit, tetapi sudah 45 menit terpidana yang satu berdiri, belum juga muncul yang lain.

Tahu-tahu muncul sipir di pintu. Sementara itu terpidana yang sedang menunggu tampak bergoyang, seperti akan semaput. Celaka!

Saat itu Kirky melesat masuk diikuti oleh terpidana dan Harry. Wajah Kirky tampak merah dan ia senewen. Wade segera maju dan menstop terpidana no. 2 di tanda kapur. Dengan gesit selubung dipasangnya dan tali leher dikalungkan. Saya tak sempat melihat Harry yang bertugas melompat menyentuh pengungkil. Bunyi berdebum terdengar. Kedua terpidana merosot, lalu berhenti. Tali tegang, tidak bergerak-gerak. Mereka sudah tewas.

Kirky pergi membuka pintu jebakan kecil di samping untuk mendekati jenazah. Saat itu dokter muncul. Kancing berjatuhan ketika baju jenazah pertama ditarik. Dokter mengangkat stetoskopnya untuk ditempelkan di dada jenazah yang kepalang miring ke sebuah sisi karena lehernya patah.

Proses itu diulangi pada jenazah kedua. Saat itu lutut saya rasanya gemetar. Bukan karena eksekusi, tetapi karena hampir terjadi malapetaka. Bayangkan, kalau terpidana no. 1 keburu pingsan!

Di kamar eksekusi tidak ada orang yang berbicara. Akhirnya, semua keluar. Kedua jenazah dibiarkan dulu tergantung selama sejam.

Begitu kami tiba di kamar tempat kami menginap, makan pagi disajikan. Seorang pengawal mengawasi kami makan. Tak seorang pun berbicara. Selesai sarapan, Wade dan Kirky pergi bersama si pengawal.

"Ada apa?" tanya saya kepada Harry.

"la tidak mau pergi," jawab Harry. "la belum siap. la tidak mau ditelikung, sampai mesti dipaksa. Tenaganya kuat."

Pukul 10.00 kami masuk ke kamar eksekusi untuk menurunkan mayat. Setelah berbenah, Wade menulis laporan. Setelah itu upah kami dibayar setengahnya. Setengah lagi dikirim kemudian. Sebagai asisten saya mendapat 3 guinea, tetapi hari itu saya cuma menerima 1 pon 11 shilling dan 6 pence. Konon di masa yang lalu algojo biasa menghabiskan uangnya untuk minum-minum dan dalam keadaan mabuk mulutnya dipentang untuk bercerita macam-macam. Lantas pihak yang berwajib mengambil kebijaksanaan: upah hanya akan dibayar setengah dulu. Kalau berani buka mulut, setengah lagi tidak akan dibayar!

Salah gantung

Pernahkah ada orang yang mengalami kesalahan digantung? Bulan Maret 1950 Pierrepoint dan saya menggantung seorang pengemudi truk berumur 25 tahun, Timothy John Evans. Namun, kemudian dinyatakan Evans tidak bersalah. Bukan dia yang membunuh istrinya, tetapi tentangganya, Reginald Christie.

Betulkah Evans tidak membunuh? Bulan November 1949 Evans menyerahkan diri karena katanya ia membunuh istri dan anaknya yang berumur 14 bulan. Cuma anehnya, mayat ditemukan bukan di tempat yang ditunjukkannya, tetapi di tempat lain. Evans dituduh membunuh istri dan anaknya, tetapi karena kebiasaan di masa itu, ia cuma boleh diadili membunuh satu orang. Penuntut memutuskan untuk mendakwa Evans sebagai pembunuh anaknya.

Setelah Evans dihukum gantung, muncul bukti-bukti bahwa pembunuh Geraldine Evans adalah Reginald Christie, tetangganya. Jadi, Evans dinyatakan tidak bersalah. Sebetulnya tidak benar kalau Evans bukan pembunuh. Memang betul Geraldine dibunuh oleh Christie, tetapi yang membunuh Ethel, istri Evans, kemungkinan adalah Evans sendiri. Begitu pendapat Hakim Brabin.

Pengawal yang menjaga terpidana mati diajari menjawab pertanyaan-pertanyaan terpidana mati, seperti: "Sakit enggak sih digantung?" "Lama enggak sih matinya?" Jawaban-jawaban yang benar membuat terpidana tenang dan terhibur pada malam-malam panjang yang mencekam. Berulang-ulang terpidana diberi tahu bahwa kematian berjalan cepat dan tidak menyakitkan kalau mereka menghadapinya dengan tenang dan tidak melawan.

Ketika Pierrepoint dan saya bertugas menggantung Piotr Maksimowski yang membunuh pacarnya (istri orang), kami mengira akan mendapat kesulitan. Soalnya, Maksimowski takut digantung. Sebetulnya, ia tidak takut mati. Ia malah mencoba bunuh diri di penjara. Ia minta dihukum tembak, hukuman yang tidak bisa diluluskan.

Ternyata orang Polandia berumur 33 tahun itu sangat membantu kami. la segera bangun begitu kami masuk dan membiarkan tangannya diikat. la berjalan tanpa ayal-ayalan ke kamar eksekusi dan dalam waktu 7,5 detik sudah meninggal.

Dimarahi orang yang akan digantung

Suatu kali Pierrepoint mendapat tugas mengeksekusi dua orang sekaligus, yaitu Zbiginew Gower dan Roman Redel di Penjara Winchester. la bersama Harry Allen akan menangani Gower. Kirky dan saya disuruh mengurusi Redel.

Sudah ribuan kali saya mempraktikkan pengikatan pergelangan kaki, eh, sekali ini kok rasanya susah betul. Tali kulitnya seperti terlalu pendek 3 inci, sampai rasanya saya tidak percaya memandangnya. Dalam keadaan panik tali jatuh menimpa sepatu Redel. Tahu-tahu orang Polandia itu mengomel dari balik selubungnya, "Kerja yang benar, dong!"

Ternyata kaki Redel kurang rapat. Untung Pierrepoint bersedia menunggu dan untung setelah itu saya masih terpakai. Biasanya kalau algojo salah sedikit saja, habislah kariernya.

Kalau Maksimowski membantu para penggantungnya untuk menyelesaikan tugas dengan cepat, ada lagi yang lebih nekat menghampiri tali gantungan dari dia. Bulan November 1950 saya dipanggil untuk membantu Steve Wade mengeksekusi seorang pelaut bernama Patrick Tournage yang bersalah membunuh seorang pelacur tua. Tournage yang kecil kurus itu sejak di pengadilan menyatakan ingin mati. Jadi, dalam sel ia riang gembira saja, sampai para pengawalnya pun heran.

Hubungan antara pengawal dan narapidana biasanya sulit. Tetapi bukan mustahil antara mereka ada ikatan batin, karena sang pengawal mendampingi siang-malam, menghibur mereka ketika gelisah, berbicara pada saat si terpidana mati ingin berbicara, main kartu kalau diajak main, tutup mulut kalau terhukum ingin kesunyian. Mereka juga bertanya-tanya di dalam hati seperti sang terpidana: apakah akan ada pengampunan?

Karena itulah pengawal si terpidana tidak diharapkan ikut serta dalam eksekusi. Beberapa jam sebelum pelaksanaan hukuman mati, mereka digantikan oleh dua pengawal lain, kecuali kalau terpidana minta agar pengawalnya yang lama ikut hadir.

Wade meminta seorang pengawalnya yang lama untuk menemani saat-saat terakhimya. Tournage menoleh, ketika Wade dan saya masuk. Wajahnya ketakutan, tapi cuma sekejap. Setelah itu ia seperti tersenyum. Tornage bangkit dan bersebelahan dengan pengawalnya ia mengikuti Wade. Kejahatannya memuakkan publik, tetapi sikapnya pagi ini sungguh mengagumkan. Dengan tabah ia mendekati tali gantungan.

Mendengus

Teknik menggantung orang boleh dikatakan sudah sempurna saat saya menjadi asisten algojo. Terhukum segera tewas tanpa menderita. Tidak demikian halnya di akhir abad XIX. Sering terhukum sampai mesti terkejat-kejat dulu karena jiratan tidak cukup kuat untuk mematahkan lehernya. Kematian pun berlangsung tidak segera. Hal itu sama sekali tidak terjadi. Karena itulah jarak jatuh mesti cukup panjang.

Kalau sampai terpidana belum meninggal, tak ada yang bisa dilakukan, kecuali mengayunkan kakinya supaya ajal lebih cepat menjemput. Adegan yang mengerikan itu hanya terjadi di masa yang lampau. Seorang penggantung pada masa itu, William Marwood, merasa bisa mencegah peristiwa yang tidak diinginkan itu, yaitu dengan memperhitungkan panjang jatuh.

Suatu hari datang tawaran untuk menggantung Norman Goldthorpe, seorang pembunuh brutal. Saya menerimanya. Ternyata Pierrepoint dan Steve Wade harus menggantung orang lain pada hari itu, sehingga tugas sebagai "si nomor satu" jatuh pada Harry Kirk. Ketika saya datang ke Penjara Norwich, Kirky sudah ada di sana. Kami mengintip Goldthorpe yang ternyata kurus sekali, sehingga Kirky berniat memberinya jarak jatuh yang panjang.

Bertugas dengan Kirky lain sekali daripada dengan Pierrepoint atau Wade. Kirky senang bercanda dan tidak sekeras Pierrepoint dalam hal melewatkan saat-saat menjelang penggantungan. Malam itu kami minum-minum bir. Pengawal kami yang masih muda segera akrab dan ikut bercanda. Pokoknya, malam itu meriahlah suasana di kamar kami tanpa kehadiran The Boss (Pierrepoint). Mulut Kirky juga lebih longgar. la menceritakan pengalamannya menggantung para penjahat perang. Katanya, pernah suatu pagi mereka menggantung sampai 22 orang. Jenazah boro-boro dibiarkan tergantung sejam. Begitu selesai dijatuhkan ke pintu jebakan, lantas diperiksa oleh dokter, lalu jiratannya dibuka, dipasang lagi untuk orang berikutnya.

Keesokan harinya kami menjemput Goldthorpe. Semua berlangsung seperti biasa, tapi ketika Goldthorpe berhenti merosot, kami mendengar suara dengus dari ruang bawah. Sekali lagi, sekali lagi .... Suara itu keluar dari balik selubung kepala!

Celaka! Saya belari ke bawah diikuti oleh dokter. Suara dengus masih terdengar, tetapi berhenti begitu saya memasang tangga. Saya menarik kemeja Goldthorpe. Dokter menempelkan stetoskopnya. "Sudah meninggal! Sudah meninggal!" serunya. Kentara betul ia lega. Saya memegang tali yang melingkar di leher Goldthorpe. Ternyata jari saya bisa masuk di antara leher dan tali!

Dokter mengangguk, "Tapi lehernya patah. Ia meninggal sekejap itu juga," katanya. "Yang tadi itu cuma reaksi otot."

Kirky kelihatan lesu dan tak mengucapkan sepatah kata pun. Ketika kami memeriksa kembali, ternyata semuanya beres. Ukuran-ukuran sesuai dengan peraturan. Tapi ketika kami membuka kerudung kepala, baru ketahuan bahwa kain kerudung itu sebagian menyelip di lubang kalung. Kain secuil itulah yang membuat tali tidak erat menjirat leher Goldthorpe!

Sejak itu saya tidak pernah bertemu dengan Kirky lagi.

Ada hal lain lagi yang ingin saya ceritakan tentang Goldthorpe. Ketika saya hampir meninggalkan penjara, seorang pengawal menghampiri.

"Hadiah untuk Anda," katanya sambil menyerahkan sebungkus rokok. "Hadiah dari dia."

"Siapa dia?"

"Golthorpe! la berpesan agar diberikan kepada tukang gantung." Astaga!

Didekati penyogok

Sejak pengalaman Kirky itu saya tahu bahwa karier saya sebagai penggantung orang pun bisa berakhir. Saya agak risau. Bagi tukang las di pertambangan, pekerjaan sebagai algojo sungguh berharga, karena memungkinkan saya untuk bepergian ke kota-kota jauh, berkenalan dengan orang-orang dari tingkat yang lebih tinggi, dan mendapat penghargaan karena mengeksekusi penjahat.

Suatu hari ketika saya menjemput Pierrepoint karena kami bersama-sama mendapat tugas mengeksekusi Nicholas Crosby di Penjara Manchester, saya didekati salah seorang tamu pub Pierrepoint. la mengaku teman Pierrepoint. Dengan licinnya ia mengajak saya "berbisnis". la meminta saya memasang kamera kecil di balik dasi baju saya untuk memotret adegan penggantungan. Imbalannya besar sekali, berlipat-lipat gaji tukang las tambang atau tukang gantung orang sekalipun!

Walaupun ia licin sekali, untungnya saya tidak terpeleset. Saya tidak senang kepadanya. Saya menolak. Saya malah melapor pada Albert Pierrepoint, tapi orang itu sudah pergi.

Tahun 1950 merupakan tahun sibuk. Saya membantu menggantung 19 kali yang dilakukan di Inggris tahun itu.

Panggilan pertama yang saya terima di tahun berikutnya ialah untuk ikut menggantung tiga orang dalam waktu dua hari di Penjara Wandsworth. Di penjara inilah saya bertemu dengan dua Harry Allen. Yang pertama Anda sudah kenal, yaitu Harry penjual es krim sahabat saya. Harry yang lain berasal dari Manchester,

la mengenakan dasi kupu-kupu!

Setelah melihat tujuh penjara, saya mengira semua kamar eksekusi sama saja. Ternyata saya keliru. Di Wandsworth ini kamar eksekusinya bukan main. Semua serba berkilat saking bersihnya, termasuk lantainya. Bahkan ujung tali gantungan pun mempunyai embel-embel hiasan warna-warni.

Joseph Brown dan Edward Smith adalah pembunuh seorang tua pemilik toko, sedangkan James Virrels yang berumur 55 tahun membunuh induk semangnya gara-gara bertengkar soal roti isi selai.

Pierrepoint dan saya menggantung Smith, sedangkan kedua Harry Allen menangani Brown. Penggantungan dilakukan berbareng. Semuanya lancar. Itulah terakhir kalinya saya bekerja sama dengan Harry Allen sahabat saya. Saya dengar kemudian dari Pierrepoint bahwa ia terpaksa melepaskan pekerjaan sambilan ini, karena diancam akan dipecat oleh bosnya, juragan es krim.

Keesokan harinya tinggal Pierrepoint dan saya mengurusi Virrels. Ia kelihatan tua sekali dan sangat ketakutan. Walaupun sulit, ia bisa berjalan sendiri ke penggantungan. Ketika tiba saat membuka pakaiannya, saya dapati ia mengeluarkan kotoran. Tidak benar cerita orang bahwa semua korban hukuman gantung kehilangan kontrol atas pengeluarannya. Dari pengalaman saya, cuma Virrels sendiri yang demikian.

Bernafsu ingin digantung

Bulan April 1951, ketika James Inglis akandijatuhi hukuma mati, Hakim Gorman bertanya, "Barangkali ada sesuatu yang ingin Anda katakan?"

Inglis menjawab, "Saya merasa diadili dengan adil. Kini yang saya inginkan hanya satu: secepatnya digantung."

Hadirin begitu terkejut, tetapi Inglis memang bukan asal berbicara. Inglis tersenyum ketika kami menjemputnya di sel. Kedua belah tangannya ia kebelakangkan tanpa diminta. Sambil tersenyum ia lengah ke ruang eksekusi. Hampir saja Pierrepoint ia tinggalkan di belakangnya! Terpaksa dua pengawal dan saya terbirit-birit membuntutinya. Kami seperti berlari ke ruang eksekusi. Sebelum saya sempat berdiri tegak di tepi pintu jebakan, Inglis sudah merosot ke bawah. "Tujuh detik!" seru pemegang stopwatch. Bahkan Pierrepoint yang sudah menggantung lebih dari enam ratus orang merasa tercengang, apalagi para pejabat penjara.

"Buset, saya dikejar narapidana yang akan digantung!" katanya.

Setelah itu saya masih mengeksekusi beberapa orang lagi. Kemudian karier saya sebagai penggantung orang berakhir tiba-tiba secara misterius.

Terakhir saya menggantung orang di Winson Green, Birmingham. Leslie Green dijatuhi hukuman gantung karena membunuh seorang wanita dengan kejam. Ia begitu brutal, sehingga sampai saat terakhir pun tidak menunjukkan penyesalan. Untuk membantu mengeksekusi Green saya mendapat honor 5 guinea, bukan 3 guinea seperti biasanya. Namun, sejak itu saya tidak pernah mendapat kesempatan menggantung orang lagi.

Konon saya berbuat kesalahan ketika melakukan eksekusi di Wandsworth. Namun, karena saat itu saya sudah menerima tawaran untuk menggantung Green, kesempatan itu tidak dicabut lagi.

Di Wandsworth, Pierrepoint tidak banyak cakap dan kedua pengawal juga begitu, sehingga saya menyalurkan kebutuhan saya untuk berbicara dengan orang-orang yang hadir. Saat itu jumlahnya agak lebih banyak daripada biasa. Saya tidak tahu bahwa orang yang saya ajak berbicara itu antara lain kepala penjara di Birma, yang diundang menyaksikan hukuman gantung di Inggris. Mungkin ada kata-kata saya yang kurang berkenan.

Selain itu ketika membuka pakaian korban sehabis ia digantung, saya sempat berkomentar karena begitu terkesan dan kagum melihat alat vitalnya yang berukuran istimewa. Rupanya hal itu dianggap kurang pantas.

Sebenarnya setelah itu saya masih mendapat beberapa tawaran. Cuma saja semua dibatalkan, karena mereka tidak jadi dihukum mati. Amplop cokelat murahan yang terakhir datang tanggal 22 Januari 1952.

Undangan tetap tak datang ketika saya berganti profesi menjadi pengelola kantor pos. Sekarang saya sudah pensiun. Sudan lebih dari 35 tahun berlalu sejak saya terakhir membantu menggantung orang. Hukuman mati pun sudah dihapuskan di Inggris (1965) dan undang-undang kerahasiaan yang harus dipegang algojo sudah diubah. Sampai saat ini saya masih tetap yakin akan manfaat hukuman mati. Soalnya, 22 tahun setelah hukuman mati dihapuskan, 37 orang meninggal dibunuh oleh orang yang pernah membunuh sebelumnya.

Orang sering bertanya: apakah saya tidak pernah dihantui oleh orang-orang yang saya gantung? Memang pernah saya bermimpi seram dua kali. Dalam mimpi itu saya menjadi terpidana mati. Tangan saya ditelikung, lalu saya digiring ke tali gantungan. Saya berteriak-teriak dan terbangun dalam keadaan berkeringat dingin. Pada mimpi yang pertama saya cuma tiba di pintu ruang eksekusi. Pada mimpi kedua saya sempat sampai di atas pintu jebakan. Mudah-mudahan sih saya tidak bermimpi untuk ketiga kalinya. (9 Kisah Nyata)


Intisari_Online.com

0 Response to "Mimpi Buruk Seorang Algojo"

Post a Comment